“Kok diameter perutku sekarang berlipat lipat ukurannya
daripada dulu ya?”
“Duh kenapa sekarang kalau lari kayak banyak yang ikut
mantul mantul begini ya?”
“Sanggup nggak ya jadi Ibu yang baik buat Julio?”
“Bisa nggak ya aku jadi istri yang baik buat Ayah Julio? Masak
aja belum katam, sering marah marah walau kadang ditahan, kurang qana’ah lagi.”
“Duh, bosen kali nih kerjaannya Cuma ngasuh anak tiap hari.
Bahkan udah hampir setahun aku nggak ke salon."
“Kesepian kali aku nih.”
Itu adalah beberapa contoh pikiran pikiran saya begitu menyandang
status Ibu baru, dulu. Banyak perubahan dalam hidup saya; perubahan fisik yang
tak terhindarkan, perubahan hormon yang mengakibatkan mood swing, perubahan
tanggung jawab, perubahan rutinitas, perubahan pola pikir, ahh semuanya
pokoknya berubah. Memang, sejak menjadi Ibu hidup saya berubah total.
Dari wanita karier yang mengajar dari jam 7 pagi sampai 8
malam menjadi Ibu Rumah Tangga. Dari yang tinggal di kota besar dengan
fasilitas serba ada dan hiburan serba di depan mata jadi tinggal di desa kecil
yang bahkan mau ke mall aja harus 2 jam perjalanan dari rumah. Dari yang punya
banyak teman dan tempat hang out jadi Cuma di rumah, sama anak dan keluarga aja.
Dari yang mengerjakan banyak hal jadi ‘Cuma’ mengasuh anak aja. Dari yang bisa
cari uang sendiri jadi mengandalkan suami saja.Dari yang punya kehendak bebas
jadi punya pergerakan yang terbatas. Dari yang Cuma mikirin hidup sendiri saja
jadi mikirin bagaimana anak bisa hidup dengan bahagia dan layak sampai bertahun
tahun ke depan. Dan dari tubuh yang langsing dengan perut rata jadi tubuh yang
tiba tiba menggembung di beberapa bagian khususnya perut yang kayak hamil empat
bulan. Dari 48 kilo jadi 58 kilo, itu pun susah turunnya.
“Saat menjadi seorang Ibu, terjadi banyak perubahan di dalam hidupnya. Wanita tersebut membutuhkan suatu masa transisi untuk beradaptasi dengan perubahan itu dan identitas barunya. Masa transisi itu disebut dengan Matrescence.”
That’s exactly what I feel! Saya langsung manggut manggut
begitu membaca materi Bu Anissa Rezy L,M.Psi.Psikolog saat menghadiri sebuah
Kulwap beberapa waktu lalu. Banyak kali pikiran yang berkecamuk dalam benak
saya. Takut bila berlama lama mengubangkan diri di kondisi yang sedemikian rupa
akan mengubah saya menjadi pribadi yang kufur nikmat, bahkan bisa berlanjut
menjadi postpartum depression, saya jadi aktif follow akun akun instagram yang
membahas tentang motherhood dan parenting.
Apalagi di saat saat ‘genting’ macam ini saya harus
berjauhan dengan supporting system nomero uno saya, suami. Yes, saya dan suami
sedang menjalani LDM karena suami harus merajut mimpi di benua seberang demi
masa depan kami yang gemilang, InshaAllah.
Dan ternyata saya nggak sendiri. Banyak ibu ibu baru/ibu
yang sudah punya anak beberapa pun ikut menghadiri kulwap itu demi “menyelamatkan
diri”, demi aware tentang apa yang sedang dilalui. Karena dengan begitu, kita
jadi tahu apa yang harus kita lakukan ke depannya. Ada beberapa penyebab/perubahan yang harus kita hadapi begitu menjadi Ibu baru.
PERUBAHAN APA SAJA YANG TERJADI?
1.PERUBAHAN FISIK
Sumber : marketupdate.in |
Selama kehamilan, jumlah hormon progesteron dan estrogen
meningkat. Kedua hormon ini memegang peranan penting dalam membantu janin
tumbuh dan berkembang. Saat melahirkan, jumlah hormon tersebut menurun secara
drastis dan menyebabkan ketidakseimbangan hormon. Akibatnya, kita sering
dilanda mood swing, kelelahan dan kerap susah tidur.
Kadar hormon oksitosin kita juga meningkat. Hormon ini
membuat Ibu menjadi lebih waspada dengan kebutuhan anak. Di sisi lain, hormon
ini juga meningkatkan kadar kecemasan kita sebagai Ibu. Selain perubahan
hormon, juga perubahan bentuk fisik seperti payudara, rahim dan vagina yang
kadang membuat Ibu tidak nyaman.
Itu juga yang saya rasakan. Kadang tiba tiba bahagia tiada
tara, besoknya sedih macam dunia mau runtuh saja (kadang tanpa alasan yang
jelas). Kadang juga pingin marah marah mulu. Kadang sampai sebal bukan kepayang
dengan suami. Padahal dianya nggak kenapa napa, wong ketemu aja enggak. Haha
2. PERUBAHAN DINAMIKA KELUARGA
moneycompass.com |
Seperti yang dilansir dari kulwap kemarin, memiliki anak
berarti membentuk keluarga baru dengan dinamika keluarga yang baru. Terbuka
kemungkinan baru apakah keluarga menjadi lebih intim dan memiliki hubungan yang
lebih dekat, atau justru menambah beban stress pada keluarga.
Selain itu, Ibu (dan juga ayah) Akan mengalami kembali
(re-experience) masa kecilnya. Ibu akan berusaha meniru dan mengulang cara
mengasuh yang dinilai baik, dan berusaha untuk tidak mengulangi serta berusaha
meningkatkan pola pengasukan yang kurang tepat. Terkadang proses re-experience ini
dapat membangkitkan luka luka lama yang terpendam/innerchild.
So true, saya juga mengalami dinamika keluarga plus
recalling memory saat saya kecil dulu. Karena kami menjalani LDM sejak saya
belum mengandung, sampai akhirnya mengandung dan kini menjadi Ibu, ada
perubahan dinamika komunikasi di antara kita. Contoh, dulu belum tentu video
call setiap hari dan malah kadang rentan berantem kalau terlalu banyak
berkomunikasi karena kadang jadi ngomong yang nggak penting dan ujung ujungnya
memanas. Hahaha. Kini, Pace selalu berusaha untuk video call tiap hari dan
kebanyakan percakapan mengusung tema anak.
“Gimana Julio hari ini?”
“Dia udah bisa apa, mace?”
“Rewel nggak? Nenennya oke? Mpupnya lancar?”
“Gimana hidup mace di sana? Sudah bersyukur hari ini?”
and so on.. Kami jadi
jarang berantem dan bisa mulai selow menghadapi satu sama lain. Tapi tiap
keluarga pasti punya persoalan masing masing pasca memiliki anak. Masalah pasti ada, solusi
bicarakan bersama. (Ceileh, sok bijaksana. Hahaha)
3. AMBIVALENCE
goodtheraphy.org |
Adanya perasaan tarik menarik antara ingin selalu dekat
dengan anak, namun juga memiliki keinginan untuk memiliki ruang untuk diri
sendiri. Hal ini sebenarnya wajar terjadi, tapi seringkali Ibu merasa bersalah
ketika memiliki perasaan tersebut atau merasa menjadi Ibu yang tidak baik.
Macam saya ini, kalau anak nggak tidur tidur kok rasa
rasanya pingin dia segera tidur biar bisa selonjoran sambil minum kopi dan baca
buku atau ngeblog. Tapi kalau anak tidur melulu kok jadi cemas, takut dia
sakit, takut kenapa napa dan kangen kali pingin ngajak main sambil peluk
pelukan. Ribet kali perasaan Ibu satu ini, entah maunya apa. Hahaha. Untungnya
saya tidak tinggal sendiri , melainkan tinggal di rumah orang tua dan banyak
tangan yang siap membantu untuk mengasuh Julio.
Dan bagi teman yang mengasuh anak sendiri saja (berdua
dengan suami), adalah Ibu Ibu tangguh yang harus banget diapresiasi. Saya
percaya kalian bisa melaluinya, selama suami bisa diajak berkolaborasi
membangun tim yang solid dan kompak. Saya memang suka amazed dengan teman teman
yang ikut merantau bersama suami dan harus mengurus si kecil sendiri. Tapi
yakinlah, usaha tidak akan mengkhianati hasil seperti teman mengkhianati teman
yang nggak ngaku berteman (halah, opo iki). Tetap semangat, tetap berusaha dan
be a happy mother as always!
4. FANTASI VS REALITA
Saat hamil, wanita cenderung membentuk fantasi mengenai
bayinya. Fantasi ini terbentuk dari observasi pengalaman para wanita di
sekitarnya, termasuk keluarga dan teman. Fantasi yang muncul bisa berupa jenis
kelamin, ciri fisik (warna kulit, bentuk wajah, berat badan),hingga temperamen
anak (mudah ditenangkan, murah senyum, jarang menangis). Termasuk fantasi
seorang Ibu ideal.
Namun terkadang fantasi tersebut tidak sesuai dengan
kenyataan dan membuat Ibu kecewa.
Dulu, pertama kali saya hamil saya menginginkan anak
perempuan. Bisa dikasih bando, rambut dikucir tiga, pake rok tutu aduh manis
sekali. Walau Pace tiap kali ditanya jawabnya, apa saja sedikasihnya Alloh,
saya tahu kalau dia juga pingin anak perempuan. Alhamdulillah, anak kami laki
laki dan sehat wal-afiat tiada kekurangan suatu apapun. Afterall, itulah yang
terpenting. Manusia boleh berencana, tetapi Allah sebaik baiknya penentu nasib
umat-Nya.
5. PERASAAN BERSALAH DAN MALU
Sumber: neafamily.com |
Adanya standar tentang ‘ibu ideal’ atau ‘ibu sempurna’ ,
yaitu seorang Ibu harus menjadi Ibu yang ceria, bahagia, selalu mementingkan
anak, hanya sedikit memiliki kepentingan pribadi, tidak pernah menyesali
keputusan yang dibuat, serta selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk
anak. Keinginan untuk menjadi sempurna
sering mengakibatkan munculnya perasaan bersalah dan malu.
Perasaan bersalah biasanya muncul akibat Ibu harus memilih
antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan anak. Misalnya Ibu pekerja merasa
bersalah karena harus meninggalkan anak. Malu biasanya muncul akibat adanya
perasaan ada suatu yang ‘salah dengan saya’. Perasaan ini muncul akibat
membandingkan dirinya dengan standar ‘ibu ideal’.
Perasaan bersalah dan malu ini jarang dibicarakan Ibu karena
adanya ketakutan dihakimi oleh orang sekitar. Akan tetapi jika tidak dibicarakan,
perasaan tersebut dapat memicu gangguan lain, misalnya postpartum depression.
Pernah baca belum tentang ceritanya salah satu driver online
yang resign dari perusahaan tempat dia kerja dulu karena ingin mengurus
istrinya yang punya gangguan mental setelah melahirkan? Jadi si istri ini harus
melahirkan secara caesarian karena sudah kontraksi terus menerus tetapi tidak
ada pembukaan. Begitu melahirkan, bukannya kata kata supporting yang
dikeluarkan, tetapi malah jugdment macam, “Kok caesar sih, malas ngeden ya?”, “Kan
ngabisin uang banyak jadinya...”, “Wanita itu benar benar jadi Ibu kalau
melahirkannya secara normal” dan kalimat nyinyir lainnya. Dan itu dikatakan
oleh mertua dan orang orang terdekatnya.
Lalu, apa yang terjadi? Karena dihantam kalimat kalimat
negatif setiap hari saat si mertua mengurus anaknya di rumah, si Ibu ini pernah
suatu malam anaknya menangis dan tidak mau diam, dia malah membanting anaknya
di kasur. Pak sopir alias suaminya jelas marah marah dan mendiamkan dia selama
beberapa hari. Sejak saat itu, si Ibu juga tidak mau menyusui. Beberapa hari berikutnya,
si Ibu tiba tiba mencelupkan dirinya di bak mandi, tengah malam! Jelas suami
makin menjadi jadi marahnya dan meneriaki dia orang gila. Makin hari, makin
menjadi jadi. Sering melamun dan tiba tiba menangis. Setelah berkonsultasi,
ternyata istrinya terkena postpartum depression akibat nyinyiran orang sekitar
yang mengakibatkan perasaan malu, merasa bersalah, capek, dan perasaan negatif
lainnya. Solusinya, terapi di rumah sakit jiwa. Betapa kata kata itu bisa
membangun dan menghancurkan seseorang, bukan?
Saya juga caesarian. Tanpa bermaksud membandingkan, baik
suami dan keluarga saya mendukung penuh metode ini bila memang ini yang terbaik.
Setelah operasi sesar sambil menahan perih yang menjalar, tidak ada satu pun
kalimat judmental dari siapapun.
“Owalah caesar ya? Ya udah nggak papa, yang penting Ibu dan
anak selamat dan sehat ya..”
“Owh sesar ya? Nggak papa, walau pun mahal, uang bisa dicari
lagi...InshaAllah rejeki lancar ke depan..”
“Nggak papa Mace, sesar nggak masalah... aku tetap
mencintaimu.” (kalimat dukungan paling manjur, Hahaha)
Alhamdulillah, walau tetap ada perasaan merasa bersalah
macam,
“Yaelah Mey, pake sesar segala. Temen temenmu aja melahirkan
tinggal ngeden di bidan, beres. Lemah amat jadi Ibu Ibu ngana ya..”
Tapi dengan dukungan moril dari suami, keluarga dan teman
teman, saya bisaa melaluinya.
Sebagai manusia yang berakal, kita pasti tidak mau menikmati
segala keperihan hidup paska melahirkan dong ya? Jadi, kita butuh strategi nih
bu Ibu. Masih menurut Bu Anissa Resi, ada empat cara untuk melalui matrescence!
Empat Cara untuk melalui Matrescence :
1.SELF CARE
-Buatlah daftar aktivitas yang membuat Ibu senang (misalnya
me-time pergi ke salon, atau minum kopi sambil baca buku, ngeblog macam saya,
nonton drama Korea; apa saja yang bikin kita happy)
-Jangan ragu untuk meminta bantuan orang lain (curhat ke
suami atau teman, atau bahkan tenaga profesional bila dirasa perlu. Kita
sendiri yang tahu persisi tentang diri kita, bukan?”
-Selfcare isn’t selfish! Justru ini penting karena dengan
diri sendiri yang terurus kita juga bisa fokus mengurus anak. )
-Be patient with yourself until you can find your ‘new
normal’. Sabaaaaar dulu karena terbiasan akan lingkungan dan perubahan baru
dalam hidup itu butuh proses. Nikmati prosesnya karena itu yang menjadikan kita
lebih kuat.
-Ubat mindset kita untuk menjadi ‘perfect mom’ (Semakin
cepat kita menerima bahwa kita bukanlah ibu yang sempurna karena kesempurnaan
hanyalah milik Allah, semakin cepat pula kita akan menerima kenyataan bahwa
anak kita juga tidak sempurna.)
-Cobalah menjadi Ibu yang penuh kasih sayang dan otentik,
daripada berusaha untuk menjadi ‘Ibu yang sempurna’
-Buatlah skala prioritas aktivitas yang akan dilakukan (
Kalau saya, saya bikin bullet jurnal mulai dari montly log, weekly log sampai
rapid logging; berisi perencanaan kegiatan dari rencana bulanan, mingguan
sampai harian. Semua yang ingin saya lakukan saya tulis di situ. Semua ini
berawal dari blog teman saya. Boleh banget mengunjungi Ewafebri’s Blog untuk
tahu semuanya tentang Bullet Journal. And it works! Hidup saya yang semula
kayak ‘Cuma’ ngemong anak, sekarang berasa punya banyak kegiatan yang bikin
saya lebih bahagia)
-Good enough mom is enough.
-Turunkan standardmu. Saat Ibu memiliki standard tinggi
tentang pencapaiannya dalam satu hari, akan besar kemungkinan Ibu merasa kecewa
lalu melampiaskan rasa marah kepada diri sendiri, bahkan anak.
-Cobalah mentoleransi diri bahwa kita tidak bisa melakukan
semuanya. We are a human, afterall.
2. TERKONEKSI KEMBALI DENGAN PASANGAN
Saat memiliki anak, seringkali hubungan antar pasangan
terlupakan. Padahal dukungan pasangan adalah faktor protektif terpenting bagi
ibu dalam menjalani matrescence. Jadi tetap menjaga agar api asmara tetap
berkobar.
Tetap berusaha menjaga intimasi dengan berpelukan, melakukan
pillow talk dengan topik pembicaraan selain anak, bahkan melakukan kencan
dengan pasangan. Nah, di sini saya merasa sedih. Karena boro boro meluk,
nyentuh aja nggak sanggup. Huhu.
Perlu diingat bahwa Ibu dan pasangana dalah satu team dan
memerlukan kerjasama. Cobalah saling mengkomunikasikan bagaimana kita
dibesarkan; gaya pendisiplinan, value dalam keluarga, budaya, bagaimana afeksi
dan argumen disampaikan, dsb. Melalui komunikasi itu, kita akan lebih mengenal
diri pasangan masing masing dan mulai mendiskusikan cara apa yang akan
digunakan untuk menjalankan rumah tangga ini.
Nah, bagi LDM macam saya ini, bagi saya, kata kata puitis
bak pujangga betapa sangat berharga (sebagai pengganti skinship). Saya akan
merasa bahagia tiap kali Pace WA,
“Mace,I love you to the outermost galaxy and back.”
“Mace, Pace nih sayang sekali sama Mace. Mace yang sabar
ya...”
“Pace sayang Mace dan Julio. Semoga ke depannya lebih baik
ya..”
Dan segudang kalimat pengungkapan cinta lainnya. It sounds cheesy and
cliche in one way. Tapi bagi kami (saya khususnya), penyataan semacam itu
menjaga api api cinta terus membara. Hahaha...
Bagaimanapun, dukungan suami di saat matresencence begini
adalah dukungan yang paling diperlukan dan paling manjur, termasuk dukungan untuk terus melakukan hobi kita selain terus fokus mengurus anak. And I thank to my husband for always supporting me in blogging and learning English! It means a lot for me.
3.MARI BERINTERAKSI SOSIAL
-Carilah keluarga atau teman yang menurut kita dapat
memberikan dukungan positif pada kita.
-Pahami bahwa pelaku mom-shaming sebenarnya merasa tertekan
dan kurang percaya diri dengan pilihan yang ia ambil. Mereka butuh untuk
meyakinkan diri sendiri bahwa ia adalah Ibu yang baik, walau dengan cara yang
salah yaitu merendahkan Ibu lain. Jadi, kalau ada yang nyinyirin kita di
hadapan kita, katakan saja dalam hati, “Kasihan kali dikau, Bu. Sering merasa
rendah ya jadi cenderung merendahkan orang lain. Santai Bu, aku tidak akan
terpancing. Hidupku sudah indah, tak peduli kau berkata apa, dududududu...”
4. BATASI INFORMASI
Di era digital ini, segala informasi ada di genggaman. Akan
tetapi jika tidak dikelola dengan baik, hal tersebut justru akan mengakibatkan ‘tsunami
informasi’. Duh serem ya, Bu. Ibu akan merasa kebingungan dan kewalahan dengan
info info tersebut. Apa akibatnya? Ibu merasa tertekan, tidak kompeten, dan
kewalahan dengan seluruh informasi tersebut.
Jadi, kita harus pintar pintar menyaring informasi yang ada.
Jangan dikit dikit percaya dan diresapi, lalu ada info baru juga langsung
dipercaya. Pusing nanti kitanyaaa....
Well, hidup kita ini dihadapkan dengan banyak fase,
matrescence salah satunya. Ini adalah kodrat kita sebagai seorang Ibu. Yang paling
penting adalah bagaimana kita berperan dengan sebaik baiknya versi kita dan
menjadi Ibu yang bahagia. Karena Ibu yang bahagia akan melahirkan anak yang
bahagia. Dan Ibu bahagia pasti didukung penuh oleh suaminya. Maka, yuk
berbahagia bersama dan menjadi keluarga sakinnah, mawaddah, warrahmah...Aamiin
Ya Robbal Alamiin... Semangat ya bu ibuuu...
"A good enough mother is less about aiming for a low bar and more about accepting the fact; You can only do your best - Alexandra Sacks"
aku pernah ngalamin fase ini , dan lumayan lama.tp skr sih alhamdulillah udh ga ngerasa depresi ato bad mood ga berkesudahan. Salah satu cara yg aku lakuin, itu komunikasi dgn pasangan mba. aku curhat ama suami, kalo aku stress, pusing menghadapi anak2 yg masih bayi (waktu itu), trus ditambah hobi travelingku jd terhalang. kalo dulu tiap tahun bisa 2-3 kali jalan ama suami, pas hamil kedua aku sampe 2 thn ga kemana2. disitu rasanya udh mau gila.
BalasHapustp akhirnya suami ngerti. dia tau aku hobi trveling, dan itu udh kayak candu. akhirnya kita bikin kesepakatan, aku boleh ttp trveling walo dibatasi. dalam setahun 1x dengan sahabat, 1x hanya berdua suami, dan 1x dengan keluarga komplit. dan aku setuju. sejkak itu, yg aku rasain beda. aku ga lagi ngerasa tertekan, sedih, marah2. karena inget ada hobi yg aku tunggu di depan. itu malah bikin aku ttp fokus jadinya handle masalah kantor, anak2 dan suami :D.
jadi bener sih, komunikasi ama pasangan itu udh paling bener banget utk mengatasi fase matrescence ini
Wah pengalaman yg berharga dan bikin mental kita makin kuat ya mbak begitu mengalami dan bisa mengatasinya.
HapusAlhamdulillah suami makin ngerti dan kerennya ngasih ijin traveling bareng Sahabat, berdua saja dan family traveling. Samaaa banget sya jga suka traveling, suami pun. Tapi sayang, kami sedang berjauhan jdi nggak mungkin bisa traveling sendiri an atau pun barengan.
Semoga ke depannya bisa ya mbak, family traveling itu udah jadi cita cita saya hihi
Semangatttt ya mbak, komunikasi dengan pasangan adalah koentji!
bagus sekali bu ini artikel nya,nanti mau saya bagikan ke istri saya...
BalasHapusSiaaaaap pak semoga berguna! :)
Hapusmakasih sharingnya
BalasHapusSaya baru tahu nih, sama istilah matrescence. haha. Saya bukan target pembaca kali ya? Saya belum nikah, belum pernah hamil, mbak :D
BalasHapusTapi lumayanlah buat pengetahuan :)
Iya Mba bisa untuk memperkaya wawasan dlu hihi
HapusWah baru tahu ada istilahnya juga... tapi poin poinya 'ngena banget' mba, nice artikel.... terima kasih untuk sharing kecenya, semoga dengan semakin tahu dan paham, kita bisa menerima setiap keadaan dengan lapang dada dan bahagia ya... 😊
BalasHapusAamiin ya Rabb semangat mbak!
HapusMemang perlu dukungan dr lingkungan terdekat bagi ibu pasca melahirkan. Perubahan yang besar dlm hidup seorang ibu bisa merubah perilakunya. Yg paling oenting komunikasi dengan suami yang efektif. Jgn menyalahkan atau menekan istri
BalasHapusNah, itu dia mbak.. Suami harus pengertian
HapusSaya juga cesarian ;)
BalasHapusHabis lahiran dlu ujiannya banyakkkk banget :) Tapi masya Allah, itu memang yg terbaik bagi saya. Alhamdulillah, anak tumbuh sehat, ceria & imajinasinya tinggi.
Jadi tak ada masalah dengan normal/cesar, ASI/bukan, jangan pernah menjudge orang lain.
yg penting kita sudah berusaha menjadi ibu terbaik utk buah hati kita ;)
Setuju sekali mbak Hastin.. Yg pnting kita bahagia anak bahagia semua bahagia
HapusSepakat... Seorang ibu harus bahagia, karena ia akan menularkan rasa itu kepada anak, pasangan dan orang di sekitarnya. Jika keluhan ini muncul..sikap terbaik adalah melawannya dan memperbanyak rasa syukur. Menjadi seorang ibu adalah anugerah luar biasa dari sang Pencipta. Semangat para ibu💪💪
BalasHapusCan't agree more mbak! Semangaaaattt!
HapusPerubahan fisik sih ya mba yang paling kentara ketika kita jadi ibu baru, selain itu memang ada perdebatan batin ketika pengen me time tapi gak pengen juga jauh2 dari anak
BalasHapusIya mbak jdi harus banyak banyak bersyukur
HapusKeren sharingnya. Makasiy mba
BalasHapusYou're welcome :)
HapusMenjadi ibu memang tidak mudah y mba
BalasHapusSemoga bisa jadi ibu yg baik
Aamiin..
HapusWajar sih setiap ibu muda terjadi peralihan peran. Dan yamg secara bathin belum siap memang kudu adaptasi. Tapi pelan dan lama2 bisa kok menjalani peran sebagai istri, ibu dan juga diri pribadi. Nikmati dan jalani, pasti ada kepuasan tersendiri bila melihat kluarga jd bahagia.
BalasHapusIya mbak, yg penting sabar dan terus belajar juga berjuang. InshaAllah semua indah pada waktunya
HapusYaaah, jangankan ibu baru Mbak. Saya aja yg udah hampir punya 3 anak ini masih sering merasa takut, cemas, dsb nya. Apalagi ini jarak anak lumayan rapat, huhuhuh. Takut malah setelah lahiran nanti jadi depresi, hiksss. Anyway thanks sharingnya ya Mbak.
BalasHapusSama sama mbak Diah, semangaaaattt! Keren kali udah punya 3 anak mbak, aku berapa ya hehehe
Hapussemangat mbak, aku pun kini LDM kudu jadi mamak-mamak setrong dengan 2 anak. Aku pun dulu mengalami hal-hal yang mbak meykke tulis, sampai skarang aja fisik di perut offside belum balik ke datar lagi ini...suka dibilang..gi isi lagi ya? ya iyalah, isi nasi ama singkong hehehe
BalasHapusHahaha bisa aja mbak Novya.. Wah ibu superb nih, semangat terus ya mbakkk suhu hihi
HapusBetul sekali ini mba, Support dari pasangan sangat dibutuhkan serta berpikiran positif juga. Makasih ya mb .
BalasHapusMasa transisi memang penuh adatasi ...mencari lingkungan yang positif itu kuncinya ya.. Tfs...mantab ulasannya
BalasHapusYa ampuuun, baca ini kok makjleb banget ya mba. Bacanya pun sambil ngangguk-ngangguk gitu, dalam hati ini mah gue banget. But, aku sekarang sedang belajar untuk berdamai dengan kondisiku yang menurut aku nih aslii gak nyaman. Soalnya, kalaupun disesali, toh banyak hal luar biasa yang harus aku syukuri bukan. Meski, dalam hati masih ada ngenes-ngenesnya gitu mba heheh
BalasHapusGila penjelsannya jelas banget dari masalah sampai solusi...buat ibu muda atau calon ibu muda
BalasHapus