Kemarin Sabtu, tertanggal 11 Juni 2016 adalah buka bersama paling anti-mainstream dalam hidup gue. Masa kecil sampai beranjak dewasa, buka bersama gue habiskan bersama orang tua dan nenek gue yang tinggal di samping rumah gue. Atau biasanya gue buka bersama sembari menjalin silaturahmi bersama teman teman SD, SMP, SMA hingga kuliah di salah satu tempat makan di Salatiga atau Ambarawa. Begitu gue mendarat di Jakarta, gue biasanya bukber bersama teman teman kost atau Bulek yang tinggal taj kauh dari kost gue. Atau pernah gue berbuka bersama teman teman kerja dan teman SMA yang sama sama merantau di Jakarta. Tapi, Sabtu kemarin adalah bukber yang tak biasa.
Kita bukber di sebuah mushola bersama At-Taqwa.
"Lah, gue juga pernah kali bukber di mushola atau masjid?" Mungkin kalian bertanya.
"Gue juga." Gue menjawab.
Tapi, kita bukber di mushola yang hanya tersisa dinding dan lantai yang beberapanya sudah pecah hingga harus ditutup karpet dan spanduk. Jendela, atap dan jendelanya sudah menjadi abu. 17 Mei silam semua rumah mereka beserta rumah belajar KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Marjinal) plus semua piranti belajar mengajar musnah ditelan api. Tak hanya kehilangan sarana belajar gratis, mereka juga kehilangan rumah dan harta benda.
Kita hanya mengandalkan matahari sore yang berganti flashlight HP karena tak ada lagi listrik yang masuk. Untungnya banyak orang baik yang mau memberikan makan berbuka plus susu beraneka rasa nan menyehatkan. Begitu makanan dibagikan, mereka makan dengan lahapnya, dan bahkan di antara mereka minta nambah!
"ngeliatnya biasa aja Dek..."
salah satu bangunan yang masih berdiri pasca kebakaran
minum susu dulu biar sehat..
Dan buka bersama adek adek KOPAJA ini membawa gue ke sebuah pemikiran panjang tentang arti hidup. (tumben mikir)
Pernah nggak sih kalian berpikir tentang fungsi hidup kalian itu apa? Pernah nggak kalian nanya sama ilalang yang bergoyang,"Aku hidup kira kira buat apa ya?" Atau pertanyaan follow up lainnya serupa,"Kira kira hidup ku ini mau gimana ya?" Ibarat sinetron, akan berakhir seperti apa?
Dari sejak gue kecil sampai sekarang, pertanyaan pertanyaan itu nggak pernah absen. Dulu waktu gue masih kecil, gue selalu bertanya,"Kira kira besok gue bisa masuk di SMP ini nggak ya?", Lalu saat SMP, gue bertanya lagi,"Bisa nggak ya gue masuk di SMA itu?" Saat gue udah SMA, gue kembali bertanya,"Bisa nggak ya gue kuliah?" Saat itu pertanyaan itu muncul karena perekonomian keluarga gue semakin memburuk. Dan jawaban dari semua pertanyaan gue menemukan titiknya. BISA!
Begitu seterusnya sampai gue dewasa, gue selalu bertanya. Bisa bertahan nggak ya gue kerja di kota besar? Bisa nggak yang gue jauh dari orang tua? Mau jadi apa ya hidup gue berikutnya? Gue menikah sama siapa ya? Bahagia nggak ya gue setelah menikah? Gue masih bisa bebas nggak ya? Dan berjuta pertanyaan lainnya. Dan semakin ke sini gue semakin sadar kenapa gue selalu mengajukan pertanyaan pada ilalang yang bergoyang, pada lampu yang temaram, pada atap kamar, pada Tuhan. Karena gue masih punya harapan. Dan karena gue masih punya modal untuk bisa setidaknya berharap tentang masa depan yang lebih baik.
Tapi, pernah nggak kalian berpikir tentang anak anak SD seusia kalian dulu di luar sana, anak anak SMP seumur sama seperti kalian di luar sana yang terpaksa mengungkung harapan mereka sebatas "Besok bisa makan nggak ya?", "Uang ngamen cukup buat beli nasi nggak ya?". "Hari ini tisu sama cangcingmen laku nggak ya?"
Dan ironisnya, BANYAK. Apalagi dikota besar seperti Jakarta. Gue bisa liat banyak anak anak bersama bapak dan Ibunya siap gelar tikar spanduk dengan gerobak sebagai kamar di pinggir pinggir jalan.
Pernah nggak kalian berpikir peluang terjadinya suatu keadaan di hidup kalian itu serba 1/2. Kemungkinan untuk menjadi orang kaya dan miskin itu 50%. Dan kebetulan kalian dilahirkan dari bapak ibu yang berada, ada rumah untuk berteduh, ada makanan untuk mengganjal perut, ada biaya untuk mengirimkan kalian ke sekolah. Walau memang nggak ada yang kebetulan di dunia ini.
Dan nasib mengantarkan mereka menjadi anak dari orang tua yang alpa harta. Nggak ada anak yang ingin hidup di jalanan, bergelut dengan deru knalpot dan debu yang menutupi kulit kaki, tangan dan wajah; mengubah kulit muda mereka menjadi dekil, kehitamana, dan kotor. Tak ada anak yang menginginkannya. Dan mereka harus terbiasa makan di pinggir jalan dengan tangan tangan dekil mereka, mengeruk sampah yang kotor dan bau demi mencari plastik, bergulat dengan kerasnya Ibu Kota sejak mereka mampu berjalan.
Padahal bisa saja kita bernasib serupa itu. Karena peluangnya 1/2. Antara iya dan tidak. Bisa saja gue bukan anak dari Pak Agus dan Bu Wati, melainkan anak dari Ibu Ibu yang menyewakan anaknya untuk modal belas kasihan saat mengamen. Gue yakin mereka juga tidak menginginkannya. Sayangnya, manusia diciptakan untuk mengisi tubuhnya dengan makanan demi terus menggelontorkan darah berisi sari sari makanan ke seluruh sel dan jaringan. Dan untuk membeli makanan, mereka butuh uang.
"Salah sendiri mereka ke Ibu Kota. Sudah tahu Ibu Kota lebih kejam dari Ibu tiri. Harusnya udah tinggal aja di desa mereka."
Tapi, bukankah manusia diciptakan untuk bisa menelurkan harapan? Mereka melangkah ke Ibu Kota dengan sebuah harapan akan hidup yang lebih baik. Karena gue juga begitu. Bedanya, gue melangkahkan kaki berbekal 'sesuatu' yang bisa dijual di Ibu Kota; ilmu gue. Tapi mereka hijrah ke sini tanpa persiapan apapun. Dan pada saat nasib tak memihak pada mereka, siapakah korbannya? Anak anak mereka. Pada akhirnya mereka harus menerima nasib menjadi anak anak yang lari larian mengejar bis lalu membagikan amplop sambil menyanyi.
"Mohon sumbangannya untuk makan sehari hari."
Pernah nggak kalian membayangkan andaikata itu adalah kalian? Takdir yang membawa kalian menjadi salah satu dari ribuan anak jalanan? Tapi teryata tidak. Kalian bukan anak jalanan kan??
Dan pemikiran itu yang pada akhirnya membawa gue pada pertanyaan lainnya.
"Lalu, apa yang bisa gue lakukan? Apa fungsi gue hidup sebenarnya?"
Dan semakin gue besar, semakin gue tahu kalau hidup nggak melulu soal mencukupi dan memuaskan diri sendiri. Gue kuliah nggak semata mata demi gelar, eksistensi dan aktualisasi diri supaya dianggap bisa dan berlevel setara. Gue kerja nggak melulu tentang kemampuan membeli tas Fladeo atau Jansport, flatshoes Yongki Komaladi atau baju trendy. Kita hidup dengan mengemban misi masing masing.
Menjadi tangan Tuhan.
Berkumpul bersama anak anak jalanan dan hidup selama tiga tahun di Jakarta memberikan gue banyak pencerahan tentang arti hidup sesungguhnya. Dulu gue selalu memikirkan diri gue sendiri dengan pencapaian pencapaian yang harus gue penuhi, self-oriented. Dan sekarang pertanyaan yang muncul adalah,
"Gue udah bisa apa sih untuk membantu sesama?"
"Apa yang bisa gue lakuin untuk orang orang terdekat gue, Bapak Ibu dan adek adek gue?"
"Apa yang bisa gue bantu untuk adek adek di luar sana yang nggak seberuntung gue.?"
"Apa yang bisa gue lakuian at least untuk orang lain?"
Dan selama hayat masih dikandung badan, belum ada kata terlambat. Walau pun rumah KOPAJA sekarang sudah tinggal abu dan kenangan saja, tapi kita pantang menyerah. Kita berencana akan membangun rumah KOPAJA lagi. Kami akan menyewa rumah atau membelinya. Dan, apa yang bisa kita semua lakukan sebagai sesama anak anak Indonesia?
Mari kita sisihkan sedikit dari penghasilan kita untuk mereka. Mari kita patungan batu batanya, catnya, semennya, lantainya, gentengnya untuk membangun harapan mereka akan masa depan yang lebih baik. Karena tak ada yang bisa menolong mereka selain pendidikan. Pendidikan yang baik melahirkan generasi dan sumber daya manusia yang berguna dan bermanfaat. Dan tak ada yang bisa menolong mereka selain Tuhan; melalui tangan tangan-Nya, yaitu kita semua. Yuk kita mulai menabung amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat untuk bekal hidup setelah hidup. Hidup yang abadi.
Salurkan donasi kalian ke ;
BCA 2291830627 a.n. Erni Anggraini
BSM 0867044140 an Erni Anggraini
Konfirmasi Donasi ke 085777769719
BSM 0867044140 an Erni Anggraini
Konfirmasi Donasi ke 085777769719
Ingat kata guru ngaji plus pelajaran hidup nomor 2, gaes.
"Sakbecik becike manungsa yoiku manungso kang migunani marang liyan.""khoirunnas anfa'uhum linnas""Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain""The best of people are those that bring most benefit to the rest of mankind."
Lemah lemah teles, sing Kuoso sing mbales yo gaes...Ojo lali :)
"ngeliatnya serius amat, Dek...kakak..uhm..cantik ya?"
In life, have you ever asked why you live? Have you ever asked what your life is for? Have you ever asked why such a destiny happened to you??
I have. I was wondering what I'm living for. I was looking for the reason and got so busy with all the targets and plans. I tried so damn hard to look good, to look having a good life.
And after I found them in the middle of my confusion, I know why such a destiny coming to my life, I know why I live, I know what my life is for.
We live bringing a mission. A mission to be a God's hand. We live not only for the sake of us, but the sake of other people who are in need. Then I realize that my parents need me, my two sisters need me, my whole big family needs me, and all people around me need me. I choose them to need me. Because I choose to give contribution towards them.
Then, I don't need to try to look good, or have such a good life. It's not about the look, it's about the truth. My teacher once said "The best of people are those that bring most benefit to the rest of mankind." And that's the most favorite quote ever. So, do you have any idea why you still live up to now ?
Satu lagi bukti kuasaNya, tempat utk bersujud tetap berdiri walaupun tdk sempurna lagi.
BalasHapusTeringat akan bbrp musibah di tempat lain yg menporak-porandakan lingkungan tp tempat bersujud msh selamat & jadi tmpt pengungsi seperti saat tsunami 2006 di Aceh, masjid baiturrahman selamat dr bencana.
Nice story ke, smg dimudahkan dlm mewujudkan rmh belajar yg baru utk KOPAJA, aamiin
Omong2 tangan Tuhan jadi inget sang legenda sepakbola Argentina, hehe