Penerbit Meta Kata, April 2014 (Indie) - Cerpen Mini
(Juara Pertama)
Genre : Romance
Meykke Santoso
“Nis! Cepetan
sini!” ucapnya sambil berkecipak di
tepi sungai. Kulitnya yang hitam cenderung legam terlihat mengkilat terpantul
sinar mentari yang tingginya tepat di ubun ubun. Pun teman teman yang lain
dengan segera membuka seragam merah putihnya dan berhamburan ke sungai jernih
nan dangkal itu. Sesekali bahkan aku bisa melihat ikan ikan kecil ikut berenang
lalu kemudian tersapu arus.
Dengan ragu ragu aku membuka rok dan kemejaku. Berjalan
perlahan di tepi sungai dan duduk di sebuah batu karang dengan banyak lumut
yang berjuntai juntai tersapu arus. Tiba tiba dia menarikku dan kita kemudian
berkelakar syahdu di sungai siang itu. Tak peduli betapa legam kulitnya, aku
selalu suka ada di naungan centimeter dari tubuhnya.
--
Gigiku gemeretak, nafasku penuh sengalan.
“Tau nggak
Nis!! Dia mau sama aku!!” ucapnya
dipenuhi ledakan rasa yang meletup letup, disusul pula oleh ledakan hati yang
super impulsif dari ronggaku. Hatinya bak taman bunga dengan bunga warna warni
yang merekah mewah, hatiku bak taman bunga yang habis dilalap bom meleton.
Ledakan paradoks yang menyeruak di hati masing masing.
Aku terus memegang erat gagang payung dengan begitu
lekat. Di guyuran hujan sore itu, dengan berbalut seragam putih abu abu, dia
mengumandangkan tentang rasa sukanya yang seakan menggumpal nggumpal. Tapi
bukan padaku, melainkan pada Nia. Nia adalah salah satu cheerleader yang selalu
tampil penuh mempesona di setiap performancenya. Bahkan, dia bisa kayang!! Aku
yang setiap harinya mencoba kayang setengah putaran pun hampir mati rasanya.
Badan dengan lemak menggumpal dimana mana memang sulit sekali melakukan hal
yang dengan mudah dilakukan badan super slim seperti Nia. Tak heran cowok
normal seperti Aji begitu kesengsem dengannya. Dia bahkan senang bukan kepayang
saat Nia bersedia untuk melabuhkan hati padanya. Indahnya hidup ini, untuk
mereka.
Sedangkan aku, terus mencengkeram gagang payung seakan
ingin melumatnya tiada ampun hingga ujung kukuku memutih pucat. Guratan guratan
di ujung jariku semakin banyak, menggambarkan betapa dinginnya sore itu, betapa
membekunya hatiku. Seperti ada bongkahan di dada yang semakin lama semakin
membesar dan seakan ingin meledak. Aku menahan nafas dan pelupukku terus
melakukan pertahanan mati matian.
“Sejak kapan?” Ucapku akhirnya, dengan suara yang aku buat sedemikian
datar dengan tubuh yang sudah bergetar.
“Sejak tadi!!” ucapnya sembari merengkuh pundakku. Bulir bulir air
sebesar biji jagung mulai turun dengan derasnya. Dia kemudian mengambil alih
payungnya dan aku mulai menggigiti kukuku sendiri.
“Sukanya???” tanyaku tanpa berpikir.
“Lah, gimana??
Khan setiap detail hari kita selalu curhatan...Tau sendiri sudah lama aku suka
sama dia..pertama kali suka waktu itu...waktu dia pertama kali performance lalu
dia meloncat sambil berguling ke udara. Keren maksimal, Nis!!”
Aku mengulum senyum kecut. Hatiku berberai berai tanpa
ampun. Beberapa langkah lagi aku akan sampai di teras rumah dan mendadak aku
ingin lari saja darinya. Tak peduli berapa centimeter dia ada di dekatku,
hatinya tetap beratus ratus mil tanpa bisa sedikitpun aku raih. Decakan sukaku
pun semenjak bermain air di sungai berkecipak tak pernah dia rasakan. “Sahabat”,
Itu adalah baginya. Tapi bagiku, dia cinta nomor 1. Bahkan, aku belum pernah
merasakan yang kedua.
---
“Sah??”
“Sah....” Ucap yang lain bersahutan. Aku mengulum senyum penuh
kesyukuran dengan dada yang masih meletup letup tak berirama. Bulir bulir
bening pun sesekali merembes turun. Seorang laki laki menepuk nepuk punggungku,
mencoba untuk membuatku sedikit tenang. Aku menoleh padanya, dan aku dapati
pula dia menangis haru. Lalu jari jari tangan kami berjalinan erat erat,
seperti hati kami yang saling bertautan.
Tamu tamu silih berganti datang dengan aku dan dia yang
bertengger anggun di panggung kecil nan elegan. Aku memakai kebaya dengan ujung
yang berumbai rumbai menyentuh tanah berwarna putih bersih dengan kain berwarna
senada membalut indah mahkotaku yang berbunga satu. Dia tampil sangat menawan
dengan jas putih berkalung jalinan melati kuncup. Tangan kami terus berjalinan
dan hatiku terus berdesir. Bahkan, bila aku harus kayang sekarang, aku akan
melakukannya. Kayang adalah hal yang mudah bagiku sekarang. Tapi tak perlu lagi
kayang, tak perlu lagi kedinginan dengan gigi bergemeretak.
“Makasih
Nis...” bisiknya.
“Buat apa?” ucapku seketika
“Terimakasih
untuk mengajarkanku arti kehilangan dan menyadarkanku kalau bagiku, kamu tak
hanya sekedar sahabat.” Aku tersenyum
lagi sambil memandang lekat lekat matanya, menembus sampai ke ulu hatinya.
“Untung aku
kuliah di Australia..Cinta memang nggak kemana...”
Dia merengkuh hangat bahuku. Kali ini bukan atas nama
sahabat, tetapi belahan jiwa.
Pas baca nama penulisnya di bawah langsung takjub. Kerennn.
BalasHapusWhile pocket rado replica required the watch owner to essentially walk around with the watch, wrist watches featuring an automatic mechanism would wind when a person moved his or her arm along. The automatic watch was invented in 1770 by Switzerland omega replica watches. In that year, Perrelet developed a self-winding mechanism for pocket watches using the same principles applied in modern pedometers. As the hublot replica uk walked, the mechanism moved along, thus turning the watch automatically. Just a few years following this creation, the watches reported that Perrelet creation allowed the watch to wind completely for eight days of time-keeping with only quarter-hour of walking. And the automatic watch came to be. In rolex replica sale, the watches improved watches mechanism design in order to allow the watch to wind from movement in a direction. The company also improved the ability of the mainspring to store the vitality created by this movement, enabling the watch to run autonomously for about rolex replica sale.
BalasHapuswah keren nih,ceritanya soo sweet banget mbak :)
BalasHapus