“Miss Meykke, papi
kerjaaa...mami kerjaaa....”
“Wah, terus kakak di
rumah sama siapa?”
“Sama mbak Ani...”
Seorang anak, sebut saja
Ayu selalu berceletuk seperti itu setibanya di kelas. Begitu pula dengan anak
anak lain yang selalu diantar oleh ‘mbak mbak’ mereka atau pun sopir pribadi
mereka. Orang tua mereka hanya muncul saat pendaftaran saja sembari ‘menitipkan’
anaknya di English Course yang gue tempati.
Mau tahu pekerjaan
mereka? Ada yang menjadi pramugari, petinggi bank, direktur sebuah merk raksasa
di Indonesia, pengusaha asli dari Korea yang terbang sampai sini, dan banyak
para orang tua dengan dompet menggumpal tebal dan uang meruah pinak.
“Iya, khan Jakarta macett
jadi kalau kerja di Jakarta, apalagi daerah Semanggi atau Jalan Sudirman, bisa
jadi berangkat jam 5 dan baru sampai rumah jam 11.” Gue hanya mengangguk tanda
mengerti mendengar cerita sopir course. Banyak orang tua mereka yang berangkat kerja di ambang
subuh saat mereka masih bermimpi dan pulang di larut malam saat mereka sedang
asyik membangun mimpi mimpi mereka. Dua duanya, papa dan mama.
Gue ada satu cerita
tentang dua anak, kakak dan adek. Yang kakak sebut saja Budi, dan yang adek
sebut saja Ani.
Mereka setiap Senin dan
Rabu rutin masuk les diantar oleh sopir course. Si Budi berperangai layaknya
anak kelas 3 SD, hanya saja dia sering tida mau kalah saat kurang cepat
menjawab pertanyaan dan direbut yang lain,
“Miss, tadi aku udah mau
bilang itu Miss...”
Terkadang juga dia
berperangai agak kasar,
“Miss, tadi khan udah
bilang aku Miss..”
“That was not your turn,
now is your turn so mention it again..”
Tapi gue rasa anak anak
memang rupa rupa warnanya kayak balon. Lain Budi, lain pula Ani. Dulu tiap
mengajar Ani gue merasa kayak ngajar puppy atau anak anjing. Di sini fokusnya
bukan anjingnya, tapi anaknya. Dia selalu mendekati guru lalu tidur di pangkuan
atau memeluk dari belakang atau pun bahasa gaulnya ‘ngelendet ngelendet’. Misal
dia terantuk meja barang sedikit, maka matanya akan berkaca kaca. Dia terdorong
sedikit, matanya menggenang tak karuan. Dia terlihat begitu lemah dan seakan
butuh dielus elus dan dipeluk peluk.
Dulu gue terkadang ikut pulang ke kost bersamaan dengan sopir course
dan mengantar mereka berdua yang rumahnya tidak begitu jauh dari kostku. Saat
sampai di sana, ada mbak mbak yang berbalut sarung dengan kaos ketatnya cetar
melangkah keluar dan menjemput Budi dan Ani. Saat gue menunggu di kelas, si
mbak dan sopir bercanda sambil cubit cubitan, lalu si mbak mengejar sopir dan
membuka pintu depan. Gue terperanjat.
“Ini apaan?” Gue terkejut.
“Mas, itu siapa?”
“Itu mbaknya Budi. Kalau
mbaknya Ani lebih hottt lagi. Dia biasanya di rumah pakai hot pants super
pendek! Itu tadi dia pakai sarung khan karena dia sedang pakai hot pants.”
“Mbak mbak di sini kok
cabe cabean gitu yak!” pikir gue.
Sekarang gue nggak heran
kenapa Budi dan Ani sering kelaparan. Dia sehari harinya hanya hidup bersama
dua mbak cabe cabean itu karena papa dan mamanya sudah berpisah dan mamanya
hanya pulang kadang kadang.
Gue pernah diceritain
guru baru Budi dan Ani menggantikan gue karena gue ngajar kelas lain kalau Ani
pernah bawa bekal berupa roti tawar. Saat dibuka oleh Ani, guru itu melihat kalau
yang ada di dalam tempat makan hanya dua slices roti tawar tanpa selai apa apa.
Begitu dibuka, bukannya selai coklat atau kacang tetapi jamur berwarna hijau sudah menghiasi
ujung ujung roti. Ini ulah para mbak cabe cabean itu pasti.
Bila menggulung memori
gue ke belakang, jauuuuh ke belakang saat usia gue masih seperti mereka, di
umur 4 tahun serupa Ayu, 24 jam Ibu gue ada buat gue, mulai dari membangunkan
gue tidur, menyiapkan air untuk mandi, lalu menjemput gue dari TK, menyuapi gue
makan, lalu saat gue pup tangan tangan tanpa pamrihnya dengan halus
membersihkan gue, memandikan gue, sampai memeluk gue agar gue tertidur lelap
dan memeluk mimpi mimpi indah.
Bila menggulung memori
gue jauh ke belakang, saat gue kelas 1 sampai 3 SD seperti Budi dan Ani, setiap
malam Ayah dan Ibu mengajari gue cara berhitung dan membaca dilanjutkan
menonton TV bersama. Kadang kita piknik bersama setelah lebaran dan juga makan
di luar bersama walau sebatas mie ayam. Gue nggak kenal HP, gue nggak pernah
liat film di Youtube, gue nggak pernah mainan Angry Bird, dan gue juga nggak
kenal layar disentuh sentuh kok bisa gerak gerak. Karena memang belum ada.
Tapi gue tidak pernah
sedetik pun merasa butuh kasih sayang.
Tapi anak anak kota jaman
sekarang?
Memang tidak semuanya
bernasib sama. Tidak semua anak punya orang tua yang berkarir dengan begitu
megah, dan terus bekerja dari subuh sampai waktu tahajud. Tidak semua anak kota
yang berorang tua kaya dalam level raya selalu merasa terpinggirkan. Tidak....
Tapi ada beberapa sampai banyak yang memang bernasib sama.
“Kamu mau apa nak?”
Apapun permintaan mereka
akan selalu dikabulkan karena uang memegang kendali atas barang barang. Di kota
mall layaknya jamur. Di dekat tempat tinggal gue pun ada tiga mall besar
berdekatan. Tapi ada satu yang mereka tidak bisa berikan ke anak anak mereka.
Waktu.
Uang bisa membeli baju bagus, makanan enak, mainan mahal, mobil megah,
dan rumah mewah. Tapi tidak dengan waktu.
Dididik oleh orang tua
dan dididik oleh mbak mbak jelaslah akan berbeda hasilnya.
Apa yang gue lihat dari
sini mulai meluruskan cara pandang gue akan masa depan. Apa artinya uang
menggunung harta melimpah bila anak anaknya miskin. Mereka sangat sangat jauh
dari miskin harta, tapi mereka bisa jadi....miskin kasih sayang.
Tapi hidup memang begini.
Selalu ada hal yang dikorbankan di setiap keinginan.
Lalu, semua hal ini
mengantarkan gue pada pertanyaan,
“Apakah Anak kota dengan
harta meruah ruah menganak pinak pastilah bahagia??”
Belum Tentu.
Yah... yg anak orang Kaya bukan Berarti hidupnya juga nyaman....
BalasHapusKarena faktor orang tua yg terlalu sibuk dan ngga punya waktu buat anaknya..
Sehingga perhatian, bimbingan, dan kasih sayang dari orangtuanya tidak dia dapatkan...
nah akibatnya.. suatu saat jika si anak sudah mulai sadar dengan itu..
kita bakal ngeliat tingkah laku atau karakter yang keras dari anak itu...
Saya juga mau jadi org kaya... tapi aku janji anak2 saya akan aku bimbing baik2 suatu saat nanti :)
Murid2 elo anaknya karyawan elit2 gt ya. Kasih sayangnya terbagi dg pekerjaan. Terus cuma diasuh pembantu n baby sitter geje. Terus kayak itu ada enggak yank dari anak orang biasa full kasih sayang. terus ntar dibandingkan aje mana yg lebih terdidik
BalasHapusngebayangin mbak2nya si Budi sama Ani kok rasanya pengen ngakak trus jitakin gitu loh.. bukannya ngejalanin amanat buat jagain Budi sama Ani, mereka malah sibuk sendiiri. Makanan Budi sama Ani ajah ga karu2an gitu -____-
BalasHapustapi sepakat sih kak.. anak yg dididik sama orang tuanya langsung pake kasih sayang yang tulus walaupun secara enggak mewah, bakal beda kualitasnya sama yang dititip didikkan sama mbak2 walaupun dengan limpahan harta di sekitarnya.
Btw mey, kebanyakan muridku juga kayak gituuu. Orang kaya tapi kurang kasih sayang, dampaknya malah dilampiaskan ke temennya jd anak nakal ada juga sebaliknua tertutup bgt.
BalasHapusBener bgt kalo ada yg bilang pendidikan utama bukan di sekolah tapi keluarga... niceee... :)
Anak kota selalu gitu, orang tuanya selalu membahagiakan anak mereka dengan uang. Tanpa sedikitpun memberikan waktunya yang habis karena digunakan untuk bekerja.
BalasHapusMelihat nasib ani dan budi saya terharu banget. Mereka diasuh oleh kakak mereka yang bisa dibilang cabecabean. Yang tidak mempedulikan mereka. Entah bagaimana nasib anak-anak seperti budi dan ani di masa depan nanti.
Saya jadi bersyukur sewaktu kecil dulu orang tua saya masih selalu menemani saya, meskipun saya hidup di keluarga sederhana. Tapi kasih sayang lebih penting dibandingkan uang
Nice written Miss Meykke (as usual).
BalasHapusHidup itu pilihan ya...menjadi ortu pun diberikan pilihan, bekerja atau mengasuh/mendidik anak. Padahal agama pun sudah memberikan jawaban baik atas pilihan itu, satu orang bekerja dan yang lain mengasuh/mendidik anak (walau sebenarnya mendidik anak harus dilakukan keduanya). Tapi sepertinya lebih banyak yang membuat jawaban sendiri, keduanya bekerja dan orang lain yang mengasuh anak hehe *miris
Akan tetapi, nyatanya hal ini tidak terjadi pada mereka yang kaya saja. Mereka yang kekurangan finansial pun bisa memilih u/ tidak mengasuh anak, menjadi TKI misalnya, meninggalkan anak bertahun-tahun. Well, that's life
Semoga kita diberikan pilihan yang tidak memberatkan dan bisa memilih yang terbaik ^^
Nice written Miss Meykke (as usual). Hidup itu pilihan ya...ketika menjadi ortu pun disodorkan pilihan, bekerja atau mengasuh anak. Padahal di agama pun sudah jelas pembagiannya...ada yg mencari nafkah dan ada yg mengasuh anak. Bukan dua"nya bekerja dan orang lain yg mengasuh anak hehe.
BalasHapusTapi bukan berarti yg kaya saja seperti itu, terkadang mereka yg kekurangan finansial pun harus memilih untuk tidak mengasuh anak, menjadi TKI misalnya, meninggalkan anaknya bertahun-tahun. That's life
Semoga kita disodorkan pilihan yg tidak memberatkan dan bisa memilih yg terbaik ^^
gitu deh mey kalo ngajar di tempat anak-anak orang kaya. gue juga sering ngeliat fenomena kayak gini, secara gw ngajar di sekolah swasta yg uang masuknya aja 8 jeti.. malah kadang ada yang sampe jam 6 sore belum di jemput (pulang sekolah jam 4). pas ditanya, katanya mama papa ke luar negri, abangnya yg ngejemput pun kuliah pula. eh ternyata abgnya lupa jemput, pas udh di telpon sejam kemudian baru dateng.... ckckckc
BalasHapusIya, bener banget. Uang itu gak bisa beli 'waktu'. Haaahh~ Kasian banget Budi sama Ani :( Untungnya waktu kecil mamaku selalu ada buat aku. Tapi engga dengan papaku. Karena harus mencari nafkah ke luar negeri, papaku gak bisa selalu ada buat aku :( Malah curhat. Oke, abaikan.
BalasHapus