Besok pengumuman
kelulusan tingkat SMP. Pengumuman buat adek gue, Nicken. Dan ngomongin soal
pengumuman, menyeret memory gue ke ehm....*ngitung 7 tahun yang lalu, waktu gue
masih unyuk.
Waktu SMP, kala itu, gue
yakin lulus. Gue bisa ngerjain setiap soal yang ada, dan saking semangatnya pun
gue janjian sama sahabat gue, Uma buat nyatet jawaban di kertas coretan dan
nanti kelar test kita cocokkan. Matematika.
“Piye seph? Punyamu mana?”
Gue menghampirinya di depan ruang serba guna yang terletak di samping pagar
masuk sekolah, persis di depan lapangan basket dengan pagar jaring besi yang
melingkarinya.
Spontan dengan muka
berseri dia membuka lipatan kertas kumal dengan coretan angka berserakan dimana
mana.
“waaaah, beda 2, seph...”
Yah, at least,
kemungkinan semua jawaban selain dua itu mencapai kebenaran adalah besar.
Dan benar saja, kita bisa
melenggang anggun meninggalkan bangku SMP dengan mengantongi segepok nilai yang
bisa kita buat modal menggapai bangku SMA yang kita impikan. Dan singkat
cerita, kita berdua bisa masuk ke SMA idaman kita.
Nah, ini akar
persoalannya. Asal muasal gue sekarang bisa ada di titik ini.
Melaju ke kelas dua, saat
gue berdiskusi tentang masa depan gue dengan Ayah di ruang tamu,
“Pak, aku apa ke kelas
bahasa aja ya Pak? IPA berat ik pak..”
“Nehi. Mending IPA aja.
Baru kalau IPA nggak bisa tergapai, pilihan kedua adalah bahasa. Nanti kalau
kamu masuk Bahasa, seleksi ke universitasnya susah.”
Naiklah gue dan
menginjakkan harapan gue ke kelas IPA, dengan harapan gue bisa mendapat banyak
peluang mendaftar ke universitas dengan lebih banyak pilihan fakultas atau
jurusan.
Dan kenyataannya??
Dengan terseok seok gue
mengikuti setiap perubahan kadar keasaman suatu zat yang namanya kayak kode
captcha sampai menghitung suatu bilangan angka yang kalau diintegralkan akan
melahirkan bilangan angka baru yang lain. Kenapa hidup begitu rumit.
Setiap hari gue bersama
sahabat sahabat gue pergi pagi buta naik bis berjejalan mengarungi panjang
jalan tak kurang dari 25 km dan pulang mendekati magrib karena les tambahan
serupa Kimia, Biologi, Fisika, dan Matematika.
Dan kelas tiga
menghadang. Dan langkah gue menghitung bilangan semakin tertatih tatih. Ya,
matematika, kimia, dan fisika adalah tiga pelajaran yang sarat akan angka. Dan dari
ketiganya, Matematika adalah rajanya.
Raja segala penderitaan
yang ada.
Matematika nggak pernah
ngertiin gue. Dia selalu memberikan masalah yang susah gue pecahkan. Kenapa dia
harus diakar tiga, lalu dibagi dengan bilangan yang juga berakar –tunggang-,
lalu masih dikalikan angka berpangkat serupa pejabat?? Kenapa???
Kenapa kita harus
menghitung suhu campuran kalau dua cairan dipertemukan dengan suhu asal yang
berbeda. Lalu pada akhirnya suhu mereka menemukan titik akhir, dan menjadi
keluarga sakinah, mawaddah, warohmah dan dikaruniai anak yang lucu lucu.
Kenapa kita harus
menghitung kadar keasaman suatu zat sampai harus menghafalkan puluhan code
captcha beserta bahasa manusianya?
Kalau tidak karena para
sahabat gue dan teman sekelas gue yang menyenangkan, masuk sekolah itu serupa
momok buat gue. Berkubang dengan rumus yang mati matian harus gue hafal, lalu
gue aplikasikan sedemikian rupa.
Dan puncaknya adalah
waktu UAN. Kalau semasa SMP, gue bisa membuat hanya dengan satu kali berhitung,
bah! Ini... boro boro sekali hitung langsung dapat, bahkan rumusnya pakai yang
mana aja gue nggak nemu. Gue ubek ubek pikiran gue, gue pilihin setiap folder,
tapi foldernya berantakan, berserakan!
Parahnya lagi, seumur
umur dari SD gue nggak pernah duduk tepat di depan guru pengawas. Dan UAN SMA dimana
gue menempelkan pantat gue? Ya, sejajar, tepat sejajar di depan guru pengawas.
Hanya berjarak sekitar 50 cm saja. Bahkan, guru pengawas gue juga pasti tahu
dalam semenit gue kedip berapa kali!
Jelas gue nggak bisa
minta pertolongan siapa siapa. Hanya kepada Alloh gue mengadu dan berserah
diri. Gue lihat soalnya, gue cermatin.
“kerjain yang bisa dulu,
lompati yang susah..”, gue ingat pepatah sakti mandraguna bekal guru gue.
Gue lompat, lalu lompat,
lalu lompat, akhirnya gue mainan lompat tali. Lebih dari separo gue lompati. Rasanya gue
mau mati. Gue noleh baru 45 derajat dihitung dari posisi meghadap ke depan
sempurna aja guru gue udah batuk batuk tiga kali keras sekali.
Kalau gue bisa milih hari
yang paling bikin stress sepanjang gue menuntut ilmu adalah hari itu!
Dan lo tau apa yang gue
lakuin setelah gue ngumpulin kunci jawaban??
NANGIS. Ya,gue nangis.
Beberapa teman gue
mencoba
“Uwes Mey...nggak
papa..bisya bisya..”
Dan tiap gue inget kalau
gue melingkari hanya dengan berdasarkan pada kemana jari berpijak alias
melingkari bebas, air mata gue kayak grojogan sewu, menetes berlinangan dimana mana.
Bahkan, ada sekitar 5
soal yang saking kepala gue sakit rumusnya aja gue nggak nemu, serupa mau ke
Salatiga nggak bawa dompet, gue nggak baca lagi soalnya. Tinggal gue lingkari
dengan kaca berkaca kaca.
“Seeeeph......huaaaaaaa...”
Rerumunan teman gue
keluar, gue melihat Uma berjalan dari kejauhan, gue langsung...
Peluk dia kayak
teletubbies. Si Uma yang syok campur malu campur kasian menyambut pelukan gue
dengan nyengir nyengir. Ini jelas patah hati telak, bahkan ini rasanya lebih
nendang daripada patah hati sungguhan (kayaknya sih).
Dan benar saja, gue
akhiri test hari itu dengan beruraian air mata. Gue nangis lamaaaaaa banget di
depan kelas. Nggak peduli diliatin banyak temen sewaktu pulang. Hati gue
terberai berai, lebih dari berkeping keping, bahkan setiap kepingannya tidak
bisa dibagi lagi menjadi dua. Sudah level sel.
Setelah UAN, gue nggak
doyan makan. Sampai gue ingat siang siang, gue makan sama sayur kangkung, dan
tiap gue mau nelen, gue mau muntah. Sampai segitunya. Ini bukan lebay, ini
kenyataan.
“Piye Mbi, lulus semua
kan?”
Tiap hari gue SMS in
temen gue yang anaknya salah satu guru di SMA itu.
Finally, LULUS 100 %. Dan
rasanya gue sujud syukur pake dress warna item waktu itu! Dan nilai gue sangat
minimalis. Kalau kala itu tidak ada soal bonus 2 atau 3 gitu gue lupa, entah
apa jadinya hidup gue.
“Oke fine. Gue selamanya
nggak akan bertemu dengan segala bentuk Matematika. NEHI!”
Gue mengukuhkan niat.
Teman teman gue yang pada heboh mau ikut SNMPTN, gue Cuma nyeker nyeker tanah.
Gue benar benar nggak kuat kalau harus berhadapan dengan matematika. Ini sebangsa
trauma. Dan gue....hanya daftar satu universitas. Gue nggak pernah ikut test
apa pun setelah test Matematika itu. Gue give up, lalu melambai lambai pada
kamera. Ada tulisan dibold merah, ‘perhatikan bayangan ini’ dengan ditemani
tanda tanya yang juga diwarna merah.
Gue pernah mendaftar kebidanan di salah satu sekolah kebidanan milik negara di Semarang, dan apa yang menggagalkan niat gue??? Apa??
Tidak lain dan tidak bukan adalah Matematika yang bertengger menjelma meliuk meliuk diakhiri dengan lingkaran serupa ibu hamil ENAM. dan gue dinyatakan gugur.
“Bisa keterima di salah
satu universitas udah alhamdulillah..”, pikir gue pasrah cenderung berhenti
berharap dan menunggu datang gelap sampai nanti suatu saat tak ada cinta
kudapat.
Teman gue move on ke kota kota besar, gue masih stay di kota
yang sama karena kampus baru gue bersebelahan dengan SMA gue.
Dan di hari itu, gue dan
Matematika memutuskan untuk menyudahi hubungan kita yang benar benar melelahkan
ini.
Dan memang Alloh Maha
Mendesign nasib para hambanya.
Tamat
ecie.... yg g suka matematika... sama dong kyk gua... pas sd - smp sih masih cs an sama mtk tapi pas udah smk ya jauh2an, bagai kepompong *lhoh
BalasHapusDulu matematika menyenangkan, sebelum angka-angkanya bercampur sama huruf-huruf...
Hapusahahaha,,,iya, nggak mat nggak hidup, makin ke sini itu makin complicated.haha
Hapuswalaupun angkanya udah bercampur sama huruf huruf, tapi gue masih cinta ama matematika #maksa
BalasHapusjadi iri sama anak tk. matematikanya tuh cuma 1 + 1 = 2
bener bener kangen sama masa masa itu
iya, khan emang semakin besar semakin complicated kitaaa..hehehehe
Hapusgue yg paling gak suka dgn matematika hahah...
BalasHapussama :3
HapusBeeeh...kalo gue jgn kan nyatet jawaban terus di cocokin...ngejawab di lembar jwaban aja gak...hehehe
BalasHapusbilang aja nggak ikut testnya aduh anak hukum :3
Hapuskenapa ya banyak yg sebenci itu sama mtk? kesian mtk.. #ngelus2 mtk
BalasHapusgw juga waktu SMA agak payah soal MTK, tapi malah gue berniat masuk jurusan MTK waktu kuliah.. ikut BPUD, tp gak lulus. jadonya ambil PGSD dengan konsentrasi MTK. walopun MTK itu susah, tp gue tetap doyan MTK..
waaah, cc Risah emang hebat sekali ya..kalo nggak doyan sama sekali @.@
Hapusoia mey, blog mu kok jadi banyak iklannya gini? #baru liat dr leppy, kmren dr hp mulu
BalasHapusmau bisnis di blog ya mey? hehehe
ini lagi nyoba nyoba gitu cc Risah..hihihi
Hapuswidiiiiiiihhh mbak saking seremnya kah matematika sampai bertemu kembali pun udah ogahh hehe padahal kalau bisa dibilang sekalipun di kuliah gak belajar lagi ama matematika tp dalam kehidupan kita sehari-hari tetap kita gak bakal lepas dari yang namanya matematika..^^ aku berharap suatu hari nanti mbak bisa sembuh dari trauma bermatematika atau setidaknya tidak membenci matematika ... ^^
BalasHapusehehehe, komentar mu so sweet banget deh Zhie..jane sih nggak trauma yang gimana gitu sih Zhie..uhm..cuma emang bukan bidangnya aja dan kalo bisa jauh jauh dari matemtika..hehehe
HapusMatematika lagi. Tadi juga ada yang ngepost matematika itu, mati. Hehehe.
BalasHapusYah, seserius seriusnya kita menghindari matematika, tetap saja kita akan menemuinya di setiap sela waktu. Kamu di sela kuliahmu, bercampur dengan hruf, meyke. Saya di sela kuliah Fiqh Mawaris hitung hitung warisan pake rumus rumus juga. Dan kerja sekarang, ketemu matematika juga ngusahain dateline sesuai jadwal dan perhitungan awal. :)
Life must go on deh. Tetap semangat dengan matematika. :)
iya, makasih ya barisankata katanya cc Linaaa...uhm..iya sih..kalo dalam kehidupan sehari hari ya mau mau aja ketemu matemtika, yang ga mau kalo disuruh ngerjain soal aljabar dan matematikaaa hehehe
Hapusmataematika itu emang bikin gila , untung un mtk gue 100 *gaya*
BalasHapuserrrrr.. -___-
HapusmateMATIka itu..... aduh ga bisa diunkapin pake kata-kata kak, mungkin pake angka-angka \(TT.TT)/
BalasHapushahaha, nggak suka matematika jga ya Ulya..haha
Hapus