“Tarik tarik....”, ucap
seorang anak laki laki seakan memberi komando ke anak laki laki lainnya yang
sedang menarik ulur –hatiwanita- benang berujung layang layang, melayang
layang, berkelok kelok lincah di langit.
“Saiki sendal! Disendal cepet!!”,
seorangnya lagi seakan tidak mau kalah. Dia bilang tarik saja secara tiba tiba.
“Yah, pedooot...mau
kurang kuat sing nyendal ok yo dadi kalah...”, Dan pada akhirnya bercelotehlah
lagi anak laki laki lain mencerca kekalahan si anak yang terlihat sedikit
kecewa. Layang layangnya temangsang, putus –cinta-.
Seperti biasa gue sehabis
ngelesin jalan sekitar 100 meter dari gapura tempat dimana gue turun dari
angkot. Siang sampai sore hari, anak anak di sekitar daerah suka bermain layang
layang. Gue tengok ke atas, 3 sampai 4 layang layang saling beradu di udara.
Pemandangan itu langsung
melemparkan ingatan gue ke sekitar 9-10 tahun yang lalu. Sewaktu gue masih
duduk unyuk di bangku dengan seragam merah putih.
Kalau anak perempuan
seusia itu lagi suka sukanya mainan barbie. Barbienya dimandiin, dikasih
lipstik, digendong gendong, terus dikasih baju renda renda warna pink. Atau,
mainan boneka serupa teddy bear, atau yang gede gede, juga warna pink. Kalau
yang cowok ya dulu musimnya main tamia gitu sama beli lintasannya sekalian
nanti saling diadu yang paing cepat punya siapa. Atau mainan kasti, sepak bola,
daaaaaaaan layang layangan.
Kalau gue? Layang
layangan. Bersama dengan teman teman gue cewek dan juga cowok, kita beli layang
layang, lalu dirangkai dengan benang sambil nyanyi,
Kuambil buluh sebatang
Kupotong sama panjang
Kuraut dan kutimbang dengan benang
Kujadikan layang-layang
[ *from http://www.index-of-mp3s.com/lyric/lagu-anak-indonesia/layang-layang.html ]
Bermain berlari
Bermain layang-layang
Berlari kubawa ke tanah lapang
Hatiku riang dan senang
Ada yang polos, ada yang
gambarnya ultraman. Macam macam. Serempak kita menuju ke tanah lapang persis di
sebelah Mesjid Isdiman berhadapan dengan bukit dengan lengkungan serupa lembah kecil
berupa sawah sawah berterasering sedemikian rupa tepat diantaranya. Lapangan
yang sekarang sudah beralih bentuk dan fungsi menjadi Ambarawa Rest Area. Kalau
kalian sering melintasi jalan Ambarawa-Jogja pastilah tahu tempat itu. Di sana
dulu gue menyebarkan serpihan kenangan, bermain layang layang.
Gua tarik ulur tu –hatilelaki-
benang layang layang. Teman gue dengan semangat memegangkan layang layang buat
gue. Itu khan sebelum terbang harus ada yang megangin dengan jarak beberapa
meter dari si pemegang kaleng susu dengan banyak lilitan benang. Di ujung sana,
teman gue akan berteriak beradu keras dengan deru kendaraan yang hilir mudik
melintas jalan persis di samping lapangan.
“Ke, siaaaaaaaaaaap???”
Gue berkonsentrasi penuh.
Tangan kiri memegang kaleng susu bendera dengan segenap jiwa, dan tangan kanan memegang pangkal
benang siap untuk meluncurkan layang layang ke udara.
“Siaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaap!!!”,
teriak gue tak kalah keras..
Dan langsung dia
mengangkat tinggi tinggi layang layang gue, dia hadapkan sedemikian rupa ke
angin pembawa layang layang, dan....
Layang layang gue
terombang ambing sebentar, lalu saat akan naik ke atas, layang layang gue
oleng.
“Wah, keadaan kritis!!”
pikir gue..
Gue tarik lalu ulur...tarik
lagi..lalu ulur...keringat gue sebiji jagung menetes melintasi dahi, pelipis,
pelupuk mata, pipi, berhamburan. Gue fokus sefokus fokusnya.
“Anak laki laki aja bisa
gua juga harus bisaaaahhh. Bisya bisya!!” gue mencoba memotivasi diri gue sendiri.
“Ayo!! Ayo!! Ayooo!!”
temen cewek gue yang lain bertugas sebagai cheerleader dadakan. Sebentar lagi
mereka akan membentuk piramid.
Gue tarik dan ulur sampai
–hatinyatertatihtatih- titik darah penghabisan.
Layang layang mulai
stabil, lalu gue mulai lengah..
Layang layang gue njebur
sawah. Katam. Gue beli lagi.
Lain hari gue berganti
tugas. Gue karena selama beberapa kali percobaan selalu gagal dan menyebabkan
uang saku gue yang menjadi di ambang kehancuran, gue akhirnya berganti haluan
menjadi pemegang layang layang sambil belajar tehnik menerbangkan –harapankosong-
benda berbentuk 2 segitiga saling berbagi sisi dasar itu.
“Ke, kurang adoooohh”,
temen gue memekik, kurang jauh katanya.
Gue tergopoh gopoh mundur
beberapa langkah.
“Semene??”, gue bertanya
apakah jaraknya sudah cukup atau belum.
“Iyo. Sing duwuuuur!!!”,
serta merta dengan sepenuh tenaga gue ‘njinjit’ dan menaikkan layang layang
dengan lengan gue yang kurus kayak korek api tanpa pentul.
“Saiki!!”, gue melepas sosoknya layang layang itu pergi, biar saja dia terbang bebas, terbang tinggi tak
terperi. Gapai semua cita citamu. *salahfokus
Bermain layang layang
sambil merasakan semilir angin berhembus. Memandang batang padi saling berayun
seirama deru angin. Saling menertawakan tiap kali layang layang temen gue jatuh
di sawah dan tidak bisa diselamatkan, atau terkadang ‘temangsang’ di pohon dan
tidak berani memanjat. Coba dulu gue udah punya kamera ya...
Temen gue waktu itu masih
kecil kecil. Masih polos, masih belum terkontaminasi bobroknya dunia. Masa dimana tiap harinya Cuma kepikiran dua
perkara.
“Besok ada PR apa?”
Dan
“Sepulang sekolah mau
mainan apa??”
Dulu kita mainan bukan
mainan indoor yang membuat anak anak menjadi autis seperti jaman sekarang.
Mainan kita jaman dulu bisa membantu kita bersosialisasi dan menikmati masa
kecil bersama teman teman.
Gue mainan ‘betengan’
dengan misi utama merebut benteng pertahanan lawan dengan menyelip dan
bersembunyi, juga melepaskan tawanan yang dipenjara kubu lawan. Sistemnya pun
sampai sekarang gue masih ingat. Nanti kapan kapan gue jelasin.
Lalu, ada strengan atau
lompat tali dengan berbagai variasi. Ada juga lompat kilan memakai lengan dengan tangan dibuka selebar lebarnya saling bersusunan.
Lalu, ada sundamanda dengan 2 variasi juga, yaitu sundamanda bentuk salib dan
sundamanda payung. Itu lho yang pake ‘gacuk’ terbuat dari serpihan –hati-
genting bata sambil lompat lompat melewati kotakan bersusun digambar di atas
tanah dengan kapur tulis ambil sekolahan. Ada juga bekelan yang menggunakan bola karet dan beberapa bekel. Dulu gue paling
suka setinan, itu lho pake setin dengan ‘gacuk’nya biasanya setin warna putih
susu satunya seratus perak. Ada juga kasti dengan piranti milik Erwin, salah
satu teman SD gue. Kalau bosen, bisa juga main tong mok. Bermodalkan lagi lagi
kaleng susu bendera dengan batu. Batu dilempar dari kaleng susu sebagai garis
startnya dan pada akhirnya yang kalah harus mencari orang orang yang
bersembunyi, sejenis hide-and-seek.
Kalau itu juga sudah bosan bisa main...ah, gue lupa namanya. Ada papan gitu yang berbentuk segiempat dengan keempat ujungnya dilubangi. Lalu, ada seperti lingkaran lingkaran pipih. Sistem kerjanya sama dengan kalau kita main billiard, tetapi nggak pake stick, pake jari dengan sistem ‘menyentlik’. Duh, bahasa Indonesianya menyentlik apa ya aduh. Yang kalah, wajahnya dicoreng pakai kapur ambil dari sekolahan atau bedak tabur Mars yang putih. Terakhir ada juga mainan Teletubbies. Ini gagasan brilian dari Erwin. Kita akan menjadi Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Poo. Lalu joget joget membentuk lingkaran dengan berkacak pinggang dan bergoyang goyang meniru Teletubbis yang pada akhirnya saling berpelukan sama lihat video dari matahari apa ya? Duh, ingatanku...
Kalau itu juga sudah bosan bisa main...ah, gue lupa namanya. Ada papan gitu yang berbentuk segiempat dengan keempat ujungnya dilubangi. Lalu, ada seperti lingkaran lingkaran pipih. Sistem kerjanya sama dengan kalau kita main billiard, tetapi nggak pake stick, pake jari dengan sistem ‘menyentlik’. Duh, bahasa Indonesianya menyentlik apa ya aduh. Yang kalah, wajahnya dicoreng pakai kapur ambil dari sekolahan atau bedak tabur Mars yang putih. Terakhir ada juga mainan Teletubbies. Ini gagasan brilian dari Erwin. Kita akan menjadi Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Poo. Lalu joget joget membentuk lingkaran dengan berkacak pinggang dan bergoyang goyang meniru Teletubbis yang pada akhirnya saling berpelukan sama lihat video dari matahari apa ya? Duh, ingatanku...
Bandingkan dengan
sekarang???
“Anj*ng!! Duh, aku kalah,
matiiiii!!” sambil memencet mencet keyboard komputer di warnet dengan binal.
“Assssss***, aku yo
iyooo!! Logo* tenan kiiiiii!!!!” umpat anak yang lain dengan tatapan penuh
ambisi.
“Diajar we saiki
diajarrrrrr!!!! Waseeeeeeem!!! Bali ning markas bali ning markas!!!” Anak anak menjadi beringas dan tak terselamatkan dari penggempuran akhlak *ciebawabawakhlak
Dulu teman gue yang cowok
nggak pernah sumpah serampah. Saat lompat tali lalu kalah, kita saling
menertawakan, bahagia sekali. Kita juga main masak masakan, bisa masak nasi
goreng lalu makan sepiring untuk bersama. Asem?? As*? Kucing? Sapi? Kadal? Tak pernah
meluncur dari mulut kita. Dek Ina, Mbak Isa, Erwin, Joko, Fita, Wida, Elfi,
Andang, Oki, Topan, tak pernah berkata seperti itu.
Dan sungguh, gue rindu
serindu rindunya dengan masa dulu. Saat game center online belum ada, saat
mainan traditional masih bertahta. Bermain sama saja menjalin kebersamaan. Dan
sekarang bermain sama saja menyendiri dan menepi dari dunia luar.
Well, everything changes,
but sometimes, those kind of changes ended up with damage. Dan ini setara
dengan kerusakan generasi.
Sangat disayangkan.
*nangisdipojokan *pinginjadidutamainantradisional
one thing from your post tonight is you are a great writer dek :)
BalasHapusyou can sell it to the publisher, I think ;)
waaaaah, thank you sooo much mbak!!heehehe..
HapusI want to try it! tapi kalo publisher gitu kira kira dimana ya mbak...
Azzzz... layangan..
BalasHapusgue suka banget tu maininya..
kog bahasa jawa ya.. emang mbak org mana...?
emang bisa? hahaha...
Hapusiya, aku khan orang Semarang...tepatnya di Ambarawa :D
Wahhh gue kangen masa masa main layangan :')) Nice postt :)
BalasHapusah gue salah akun :s
HapusNumpang nyimak sekalian BW :3
gue jugaaaaaaaaaaaaaak :D
Hapuslayangan ini yang bikin jarang pulang :P
BalasHapusweee?????
Hapusiya secara Riza tinggal di Jekardah..nggak ada tanah lapang adanya mall khan??? heheehhe
BalasHapusEh..gue suka banget loh jalan ceritanya. Penempatan diksinya juga keren.
BalasHapusMainan dulu emang bagus,tapi kita lahir dijaman yang berbeda. Gak keren kan kalo kita mainin mainan yg dulu dijaman yg semodern ini? Bisa2 kita menyandang status ketinggalan jaman.
Ini rada lebay deh "Gue tarik dan ulur sampai –hatinyatertatihtatih- titik darah penghabisan"
wah makasih yaaa...hehehe.. akhirnya usaha ku merangkai kata tidak sia siaaa..
Hapusiya bener banget sih, iya makanya itu sekarang udah tergeser dengan budaya yang western-like jadinya ya begini deh...hmm...
yah, itu sih bukannya rada lebay, tapi emang lebay banget. kan 80% isi dari cerita ini lebay maksimal...hehehe
Layangan. Ingat waktu kecil suka main layangan, dan dimarahin yang punya sawah karena tanamannya sengaja keinjek:D
BalasHapusweeeh..la cc nya sama mblecok mblcok sih...akalau aku di lapangannya..jadi bisa lari ke sana dan kesini, mobat mabit kayak gasingan..haha
Hapuswidih.. kata-katanya simple tapi menohok banget.
BalasHapus"Dulu kita mainan bukan mainan indoor yang membuat anak anak menjadi autis seperti jaman sekarang." setuju banget sama yng ini. Keren
weehehehe, makasih yaaaa..:D
BalasHapusMenarik, Meyke!
BalasHapusPermainan jaman dulu tuh menumbuhkan jiwa sosial kita, permainan sekarang bikin anak-anak jadi individualis dan antisosial.
iya Mbak, benar sekali...sangat disayangkan ya mbak....
Hapus