Ambarawa, 22 Desember 2017
Sekonyong konyongnya saya terbelalak. Saya membaca aturan pakai dan cara membaca hasil dan sejurus kemudian hasil terpampang nyata di hadapan. Beberapa kali mengedipkan mata, takut salah baca. Saya langsung memanggil suami. Muka penuh rasa penasaran, dia kemudian menghampiri.
Sekonyong konyongnya saya terbelalak. Saya membaca aturan pakai dan cara membaca hasil dan sejurus kemudian hasil terpampang nyata di hadapan. Beberapa kali mengedipkan mata, takut salah baca. Saya langsung memanggil suami. Muka penuh rasa penasaran, dia kemudian menghampiri.
“Pace, kok....kok garisnya ada dua?”
“Iyo?”
“Tenin.Nih, garisnya dua.”
Ucap saya sambil memberikan benda bersampul putih berbentuk
macam thermometer. Di badannya bergaris merah berjumlah dua. Antara percaya dan
tidak percaya saya terus memandangnya lekat lekat.
“Ya alhamdulillah to, Mace.” Wajahnya sumringah, sedangkah
wajah saya memerah. Entah apa yang saya rasakan saat itu. Tapi, apapun yang saya
rasakan, satu hal yang langsung tertanam dalam otak saya adalah,
“Allah pasti punya rencana yang indah untuk ini.”
Tapi, karena saya masih belum yakin sepenuhnya, saya minta
suami untuk membeli tes pack yang lain.
“Kita nggak usah bilang siapa siapa dulu sampai kita test
pack lagi.” Saya mengingatkannya. Kami diam seribu bahasa dan melangkah menuju
ruang tamu seperti tidak terjadi apa apa. Padahal hati dan pikiran saya bergulat ; pergulatan batin.
Sore harinya, saya meminta suami untuk membeli testpack
lagi. Akhirnya dia membeli test pack termurah dan termahal di apotek terdekat.
Dua sekaligus saya celupin, dua garis merah makin ketara.
“Alhamdulillah...” Seolah pace mengajarkan saya untuk
mengucapkan kata itu.
“Iya, alhamdulillah.”
Masa depan yang saya dan suami rencanakan akan mengalami pergeseran
sekonyong konyongnya. Benar kata pepatah,
“Manusia boleh berencana, Allah yang menentukan.”
Dua garis merah itu juga sekonyong konyongnya telah
menaik-turunkan mood saya. Bersyukur, sedih, khawatir, cemas, takut, senang,
semuanya berkumpul menjadi satu. 8 Januari 2018 atau tepatnya 15 hari lagi,
suami akan berangkat untuk menyelesaikan S2nya di Australia. Dan saya akan mengajar di
Jakarta. Itu artinya saya akan hamil seorang diri, tanpa suami dan keluarga
yang tinggal di Semarang. Di satu sisi saya merasa teramat bersyukur karena saya
ternyata bisa hamil juga.
"Pace, kira kira aku bisa hamil nggak ya?"
"InshaAllah bisa..."
"Coba aku besok Papsmear ya... Biar memastikan kalau punyaku dalam good condition."
"Iya, boleh..."
Saya juga sempat papsmear untuk memastikan kesehatan leher rahim.
Alhamdulillah, di detik detik keberangkatan Pace yang berarti adalah kesempatan terakhir kita masih bisa berkumpul di masa subur ternyata membuahkan buntelan cinta. Tapi, di lain sisi saya galau luar biasa. Tinggal sendiri jelas saya sudah ahlinya. Sejak lima tahun yang lalu pun sejak saya lulus kuliah saya udah tinggal sendiri di Jakarta. I'm a free soul!! Tapi ini hal yang sama sekali berbeda!
Ada calon manusia di rahim saya. Saya akan mengalami banyak perubahan secara fisik dan mental. Dan saya akan menjalani tiap tiap perubahan itu seorang diri.
"Berarti nanti Pace pulang lagi kapan?"
"Pas libur semester to Mace, InshaAllah."
"Itu kapan terjadinya?"
"Juni atau Juli."
"Alamak..."
"Wes rasah nggembeng....." *Udah nggak usah nangis...
Air mata makin membanjiri pipi sampai ke leher leher.
"Apa Pace nggak usah berangkat aja?" Pace menggumamkan pertanyaan retoris.
"Ya jangan, khan demi masa depan yang lebih baik e..."
"Tuh tahu..."
"Tapi tapi......hiks..."
Nangis lagi...
"Pace, kira kira aku bisa hamil nggak ya?"
"InshaAllah bisa..."
"Coba aku besok Papsmear ya... Biar memastikan kalau punyaku dalam good condition."
"Iya, boleh..."
Saya juga sempat papsmear untuk memastikan kesehatan leher rahim.
Baca juga "Yuk ikut pemeriksaan Papsmear dan SADARI secara Gratis di Lab Kimia Farma"
Alhamdulillah, di detik detik keberangkatan Pace yang berarti adalah kesempatan terakhir kita masih bisa berkumpul di masa subur ternyata membuahkan buntelan cinta. Tapi, di lain sisi saya galau luar biasa. Tinggal sendiri jelas saya sudah ahlinya. Sejak lima tahun yang lalu pun sejak saya lulus kuliah saya udah tinggal sendiri di Jakarta. I'm a free soul!! Tapi ini hal yang sama sekali berbeda!
Ada calon manusia di rahim saya. Saya akan mengalami banyak perubahan secara fisik dan mental. Dan saya akan menjalani tiap tiap perubahan itu seorang diri.
"Berarti nanti Pace pulang lagi kapan?"
"Pas libur semester to Mace, InshaAllah."
"Itu kapan terjadinya?"
"Juni atau Juli."
"Alamak..."
"Wes rasah nggembeng....." *Udah nggak usah nangis...
Air mata makin membanjiri pipi sampai ke leher leher.
"Apa Pace nggak usah berangkat aja?" Pace menggumamkan pertanyaan retoris.
"Ya jangan, khan demi masa depan yang lebih baik e..."
"Tuh tahu..."
"Tapi tapi......hiks..."
Nangis lagi...
Apa saya bisa?
“Kalau belum siap, kenapa tidak melakukan penundaan?”
Pertanyaan yang bagus, kawan!
Awalnya kami ingin menunda. Kami menikah tanpa mengalami
fase pacaran, alias hanya bermodalkan basmallah dan keyakinan bahwa Allah akan
menjodohkan wanita baik untuk pria baik, dan pria baik untuk wanita baik. Walau
pun saya ngerasa saya nggak baik baik amat, tapi saya berpikiran positif aja
kalau saya ini tergolong wanita baik baik.
“Bukankah Allah adalah menurut prasangka hamba-Nya?”
Kami masih ingin menjalani masa berpacaran setelah menikah
dan ada beberapa rencana yang kami set up untuk ke depan.
Tapi, banyak juga yang menganjurkan untuk jangan menunda
rejeki yang diberikan Allah. Lihat sekeliling kita dan buatlah keputusan
terbaik yang nantinya tidak akan kita sesali. Dan akhirnya di suatu pagi saya
mendapatkan suatu hidayah,
“Saya ini sok sok mau menunda nunda, songong dan GR amat
kalau Allah sudah pasti memberikan keturunan buat saya. Anugerah anak adalah
rejeki terbesar pasangan suami istri.
Bahkan berjuta juta pasangan suami istri sampai melakukan banyak cara
demi bisa bertemu dengan buah hati mereka. Lalu saya? Saya dengan sombongnya
menunda rejeki yang belum tentu juga bisa saya dapatkan di kemudian hari. Saya
dengan sombongnya buang buang para pejuang gesit yang berlomba lomba mencapai
garis finish dan menembus membran tebal untuk kemudian berproses menjadi manusia soleh solehah InshaAllah,
“Pace sudah pingin punya dedek?”
“Sedikasihnya sama Allah saja Mace...”
“Ya sudah, ayo.”
--
Rumah sakit Bina Kasih, 25 Desember 2017
“Nih sudah ada kantong janinnya ya. Tapi, karena masih dini,
jadi janinnya belum kelihatan. Nanti sebulan lagi ke sini biar kita tahu umur
janinnya ya.”
Sang dokter menjelaskan sampai menunjuk nunjuk macam balon kecil melayang layang di layar monitor USG. Terharu.
“Pace, ternyata aku bisa hamil juga ya?”
“Iya, kita harus banyak banyak bersyukur ya, Dek.”
Kita berdua merasa sama sama takjub. Khusus saya, sekaligus
bingung dan takut. Terkadang saya merasa kalau saya adalah remaja umur 19 tahun
yang terjerebab di badan wanita 26 tahun. Masih banyak yang ingin saya lakukan
di masa muda saya ini. Saya suka travelling, saya suka naik roller coaster dan saya
belum nyobain bungee jumping. Saya masih mau berenang di lautan bersama para
ikan cupang dan nemo. Saya punya banyak ambisi. Saya...... ambisius. Masih
banyak tempat yang ingin saya jelajahi, saya masih ingin berkarir menjadi
apapun yang saya bisa. Saya ingin mencapai puncak di gunung tertinggi! – not literally.
Dan walau pun kemarin saya bersemangat untuk punya anak,
sekarang saya ngerasa macam ;
“My youth ends here, everybody. I’ll be a mom. I have to end
all wishes and craziness growing inside me.”
Suami yang lihat saya nangis nangis macam drama cuman bisa
bilang “Sabar ya, dek.”
Mungkin suami juga mikir, “Nih istriku kok cengeng amat.”
Untung suami cuma mikir doang, nggak sampai bilang.
Liburan selesai, dan saya bersama suami kembali lagi ke
Jakarta dengan banyak angan angan dan pikiran. Saya mulai menghitung detik demi
detik kayak lagunya Krisdayanti.
"Pace nanti kalau aku pusing pusing terus muntah muntah kayak di sinetron gitu yang mijitin siapa?"
"Kalau aku nggak bisa tidur yang nemenin siapa?"
"Kalau aku nggak doyan makan yang nyuapin siapa?"
"Kalau aku galau yang menghibur siapa?"
"Sabar....."
"Pace nanti kalau aku pusing pusing terus muntah muntah kayak di sinetron gitu yang mijitin siapa?"
"Kalau aku nggak bisa tidur yang nemenin siapa?"
"Kalau aku nggak doyan makan yang nyuapin siapa?"
"Kalau aku galau yang menghibur siapa?"
"Sabar....."
Kegalauan menyeruak membumbung tinggi di langit langit kamar kos. Pace mengaitkan lengannya erat erat macam balonku ada lima. Kami menghitung jam bersama.
Saya menyiapkan mental dalam menghadapi kenyataan kalau
sebentar lagi suami saya akan pergi. Ini perginya bukan kayak Jakarta-Palembang
yang kalau kangen tinggal naik pesawat sekitar 2 jam, rindu bisa terobati. Pulang
tiap minggu juga bisa kalau niat. Tapi, suami akan pergi ke Australia, yang walau pun di peta Australia itu
terpampang nyata tepat di bawah gugusan pulau Indonesia, tapi kalau di lakoni
bisa menghabiskan 9 jam perjalanan naik pesawat menyeberang Samudera Hindia.
Saya makin galau dari hari ke hari.
Dan akhirnya 8 Januari mau tak mau datang juga. Saya pura
pura nggak sedih, padahal hati saya teriris iris sampai batas bubuk mesiu.
Istilah kata, hati saya : MELEBUR.
Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?
Apakah saya bisa bertahan tinggal sendirian di Ibu Kota yang
katanya lebih kejam daripada ibu tiri?
Apakah air mata saya sampai bisa buat ngepel kamar kost?
Hai Mey, alhamdulillah, selamat, ya. Merinding bacanya. Bersyukur Mey yang baru saya tahu dah jadi pengantin baru kala OL lagi di rumah, dapat kabar tak terduga: calon ibu.
BalasHapusSyukuri itu, Mey. Meski harus tinggal sendirian, berjuanglah bahwa dirimu dan dede akan baik-baik saja. Masih ada gawai untuk menyambungkan komunikasi dengan Pace-mu. Meski secara fisik kalian berjauhan, namun adanya Dede semoga kian menautkan.
Jaga dirimu baik-baik. Peluk hangat dari jauh. Allah cuma ngasih kepercayaan pada saya dengan Palung saja meski kadang saya mimpiin gendong bayi. Faktor usia dan ekonomi harus dipertimbangkan. Juga persalinan yang barangkali akan caesar lagi maka akan makan biaya padahal kami tak mampu secara ekonomi. Hidup apa adanya namun disyukuri.
Saya telat nikah di usia 33 tahun, dan nikahnya Desember. Cuma butuh sebulan saja untuk mens sampai Februari baru tahu hamil. :) Pakai test pack juga, kok. Lalu ke bidan dan tes ulang di sana.
Jangan lupa ke posyandu atau imunisasi ya. Jangan dekat kucing. Jaga kesehatanmu. Ih, mamah-mamah bawel yang khawatir dan sok perhatian.
Pokoknya jangan forsir diri. Tetap sehat dan optimis.
komen mbak Rohyati menyumbangkan banyak bubuk mesiu untuk nantinya saya jadikan bahan bakar menghadapi tantangan kali ini biar lebih setrong mbak...
HapusHarus terus bersyukur dan berdoa supaya Allah SWT selalu menguatkan.
Makasiiiiiih mbak 😘
Wah selamat! Semoga bisa lahir dengan baik, jadi anak soleh/solehah
BalasHapusAamiin ya Robb makasih mbak
HapusYa allah mey...
BalasHapusAlhamdulillah... alhamdulillah..
Aku sbg pembaca doang ya ga tau ya rasanya gimana menghadapi kehamilan sendirian.
Tp aku ikut seneng aja gitu.
Ikut bahagia.
Apalagi suami lu ke LN kan buat s2. Bukan buat jalan2.
Masa depan yg lebih baik terpampang nyata depan mata.
Mungkin butuh kelapangan dada lebih lebar utk menghadapinya.
You are strong lah pasti mey.
Btw ini cerita lama kayaknya yg br di post. Penasaran cerita selanjutnya.
Ah gw jd pgn nikah jg. Biar pny cerita2 drama pernikahan kayak gini jg d blog. Hahaha
Thank you Risaaaah..doakan aku selalu seterooong supaya bisa lulus tantangan dengan baik yaakk..
HapusAyo aku mendukungmu!! Cepat cepat mendekati radar dan mendapatkan jodoh. Menikah itu seru sekaliii kok Sah. Hihihi..bisa praktekin drama Korea juga. Hahaha
Rumah sakit Bina Kasih, 25 Desember 2018 ? 2017 beb :-D
BalasHapuskita sama. hamil tinggal di kosan hehehe
Iya salah mbak Ina hihihi. Salam bumil seterong!
HapusYa Allah selamat mbaaa alhamdulillah, saya bacanya ikut deg-degan. Dan ikut membayangkan gimana kalo saya yg ada di posisi mba. Mungkin saya ngerengek mau ikut ke australia sekalian hahaha
BalasHapusMakasih Mba...hehehe..
Hapuswahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh, selamat ya miss mey :")
BalasHapusmenggebu-gebu banget tuh pasti, langsung beli 2 testpack sekaligus. ehehehe, langsung beli yang murah + mahal itu taktik yang cukup jenius. Ujian selanjutnya LDR suami-istri memang berat, tapiii nikmati aja. Itu sebuah proses perjuangan yang akan indah kedepannya
Makasih Jeff!! Iya, pasti semua indah pada waktunya yekaaaan 😁
HapusAlhamdulillah, selamat mba Mey. Bismillah sehat dan jalani semuanya dengan kuat kuat ya. Sekarang sudah bulan April, makin berat mungkin, tapi tangguhlah mba.
BalasHapusOh ya. Soal impian yang masih banyak. Aku juga mengalaminya kemarin. Masih banyak hal yang belum aku lakukan untuk impian impianku, tapi aku kini sudah memiliki bayi kecil. Aku yang kalau masih jalan sendirian, atau berdua suami, suka dikira single ini, alhamdulillah menemukan juga jalanku mba. Impian itu nggak hilang. Malah makin banyak dan membumbung tinggi. Makin semangat juga aku meraihnya. Semangat ya mba Mey.
Peluk jauh dari nyonya muda yang (kita seumuran lho) sama sama punya banyak impian.
Selamat ya atas kehamilannya. Semoga lancar hingga lahiran nanti
BalasHapusMbak Mey, masyaAllahhhhh. Semoga bisa melewati semua rintangan dengan baik yaaa.
BalasHapusDijaga benar-benar. Hug.
Selamat untuk kehamilannya mba, moga lancar, sehat terus sampai lahiran ya. InsyaAlloh kuat LDM-annya yaa
BalasHapusSelamat yaaa mbak atas kehamilannya. InsyaAllah mbaknya kuat menghadapi kehamilan ini dan semoga senantiasa diberikan kesehatan dan kelancaran sampai nanti yaa mbak. ^^
BalasHapus- dini // sejenakberceloteh.com -
Gak biasanya baca cerita nbak Meykke seenosional ini. Biasa tulisannya, identik dengan jalan-jalan. Namun jadi warna yang beda, jadi banyak yang bisa diceritakan. Kisah mbak Meykke mirip2 dengan kisah di Critical Eleven. :D
BalasHapusHallo mba..
BalasHapusEmang kata Sabar sih yang paling tepat, sabar-sabar ya mba. Akan ada pelangi setelah hujan kok ;)