Ini adalah karya gue 2 tahun yang lalu. Saat itu, gue lagi ngumpulin materi buat bikin buku solo bergenre Komedi. Dua tahun berselang, dan si buku tak terlahirkan. Now, daripada mengendap di folder, I'll share all the stories I've made for you!! Happy reading!!
Nama gue termasuk nama yang anti-mainstream. Nama yang jelas jelas tidak biasa dan tidak termasuk dalam golongan nama standard atau yang paling banyak digunakan oleh penduduk Indonesia. Namun, yang namanya anti-mainstream itu belum tentu anti cobaan karena selama 23 tahun gue hidup dengan menyandang nama ini, banyak sekali cobaan yang mendera gue.
Semua ini dimulai dulu saat gue masih SD, tiap kali ada
guru SD yang lagi ngabsen di depan kelas, dia nggak pernah membaca nama gue
dengan mulus tanpa mengernyitkan dahi dengan lidah terbelit tak karuan.
“Andang Rudiyanto?”
“Hadir...”
“Joko Susilo?”
“Hadir..”
“Kosasih?”
“Hadir..”
“Me...me?? Meke? Ehm...meka..ehm...”
“TOTTTTTT!! Jawaban salah!! Saya lempar ke yang lain,
silahkan!”
Ibarat ikutan kuis Tebak Nada, pasti nih pak Guru sudah didiskualifikasi.
Ibarat ikutan kuis Tebak Nada, pasti nih pak Guru sudah didiskualifikasi.
Sekilas informasi, nama gue adalah Meykke Alvia
Yuntiawati dengan pronounciation Me yang lafal ‘e’ nya seperti ‘e’ dalam ‘kepo’
bukan ‘e’ dalam ‘beras’. Sedangkan pelafalan ‘ke’ mencomot bunyi ‘e’ dalam
‘kentut’, bukan ‘peyek’. Sementara itu, pelafalan ‘kke’ karena hurufnya ‘k’ nya
ada dua, lu harus mengucapkannya dengan qalqalah. Seperti ‘me-ik-ke’. Gimana? Sekarang sedang nyobain? Udah got it? Kalau belum cobain
lu urut dulu lidah lu. Takutnya waktu praktek lidah lu jadi nyeri sendi atau
terkilir. Cidera atau kerusakan saraf lainnya di luar tanggung jawab penulis.
Tanggung jawab buat hidup diri sendiri aja dia belum mampu.
Namun, banyak sekali manusia di dunia ini yang memanggil
gue seenak kumis karena seenak jidat sudah terlalu mainstream, salah satunya
guru baru saat gue SD ini. Dengan enaknya dia memanggil gue Meke.
“Ehm...Meke?”
Dengan males malesan gue mengacungkan jari ke udara.
Dahulu kala saat susu sekolah rasa coklat dan rasa strawberry masih dicanangkan
pemerintah dan diluncurkan gratis ke sekolah sekolah, mengangkat tangan belum
nge-hits.Yang ada kita mengacungkan jari telunjuk seperti saat takhiyatul akhir
tinggi tinggi ke udara.
“Me-ik-ke, pak..”
“Owh...me..me-i-ke..”
“Qalqalahnya kurang pak, me-ik-ke.”
Gue liat pak guru mulai gregetan. Dia lalu mencoba sekali
lagi kayak lagi beli lotre. “Maaf, Anda kurang beruntung. Coba sekali lagi.”
“Owh, me-ik-ke.”
“Alhamdulillah yahh paaak...” Akhirnya Pak Guru berhasil
mengucapkan nama gue dengan ejaan yang disempurnakan.
Pulang sekolah, sambil jalan kaki menelusuri sawah gue
lalu mikir. Saat ingat kalau banyak orang dan bahkan lebih banyak orang yang
manggil nama gue dengan sebutan atau ejaan yang salah, di situ kadang gue
merasa sedih.
Semua ini bermula dari penemu nama Meykke, yang tidak
lain tidak bukan adalah Ayah. Gue nggak habis pikir dengan misteri hidup ini.
Nama temen gue begitu mudah dimengerti. Siti, Evi, Dian, Ina, Isa, Minah,
Kosasih. Makanya setelah gue pikir pikir gimana orang bisa mengerti hati gue
kalau nama gue aja susah dimengerti? Rumit sekali hidup gue serumit nama gue.
Nama itu adalah sesuatu yang melekat sepanjang hidup. Lo pernah denger nggak kalau waktu kecil ada anak yang sakit sakitan nggak pernah sembuh pasti dia terus diganti namanya. Contohnya ayah gue. Dulu namanya Mudiyati. Serius. Namun, sewaktu kecil Ayah gue sering sakit sakitan. Beliau sering memperlihatkan tanda tanda kurang baik. Beliau suka diem aja, eh ternyata mencret. Bermula dari situ, nenek gue berasumsi kalau nama Ayah gue terlalu berat.
Nama itu adalah sesuatu yang melekat sepanjang hidup. Lo pernah denger nggak kalau waktu kecil ada anak yang sakit sakitan nggak pernah sembuh pasti dia terus diganti namanya. Contohnya ayah gue. Dulu namanya Mudiyati. Serius. Namun, sewaktu kecil Ayah gue sering sakit sakitan. Beliau sering memperlihatkan tanda tanda kurang baik. Beliau suka diem aja, eh ternyata mencret. Bermula dari situ, nenek gue berasumsi kalau nama Ayah gue terlalu berat.
“Anakku, sepertinya nama itu terlalu berat untuk kau
sandang sepanjang hidup. Agaknya badanmu tidak mampu menyokong nama tersebut.
Bagaimana kalau kita ganti saja, Pakmu?”
Ayah gue cuman duduk di ayunan dari selendang sambil
nyanyi satu satu aku sayang Ibu. Kakek gue kemudian mengiyakan pendapat Nenek
gue.
“Iya aja deh, biar cepet.” Gitu kira kira kata Kakek.
“Owh, jadi kamu gitu? Bilang iya iya cuman biar cepet
aja? Pakmu, ini soal anak kita. Lihat! Tetangga udah punya anak lima dan
sekarang sedang dalam proses menuju ke-enam. Kita baru punya satu, itu aja
sakit sakitan.”
“Nggak gitu, Ibumu. Ya udah aku setuju dengan
pendapatmu.... Ya biarin punya anak 5. Khan kata pemerintah dua lebih baik.”
“Loh? Bukannya kamu yang bilang banyak anak banyak
rejeki? Jadi sekarang kamu berubah pikiran? Pakmu, kamu sudah berubah. Dimana
suamiku yang pernah bilang pingin punya anak lima biar kalau sudah pada nikah
bisa bentuk team Sepak Bola?”
“Berubah gimana, Ibumu? Aku nggak ngerti dengan jalan
pikiranmu.”
“Emangnya, kamu pernah mengerti aku? Nggak, Pakmu.”
“Jangan gitu, Ibumu. Cukup, sayang...Sekarang aku nurut
saja sama kamu. Kalau mau diganti, ya udah nggak papa.. Besok kita tinggal
bikin bubur merah.”
“Enaknya Joko apa Budi ya?”
“Ehm..terserah kamu aja enaknya gimana...”
“Tuhkan. Kamu tu pasti kayak gitu. Selalu bilang terserah
terserah. Nggak pernah punya inisiatif sendiri. Kamu itu imam keluarga.
Bagaimana kapal akan sampai tujuan kalau nahkodanya nggak punya tujuan dan misi
yang jelas?”
“Ebuset.” gerutu kakek gue, depresi.
“Uhm...Ya udah Joko kayaknya yahud.” Kakek gue akhirnya
memilih.
“Masa sih? Kayaknya Agus lebih imut deh.. Lebih nendang.
Aku maunya Agus aja deh, Pakmu.”
“Bumi, tolong telan aku Bumiiii...telan aku
sekaraaaaaaaaaaaaang!! Demi Tuhaaaaaaaaannn!!” Beliau koleps.
Dari sini gue tahu kalau ternyata cewek jaman dahulu dan
cewek jaman sekarang nggak jauh berbeda. Jangan salahin gue kalau gue juga sering
bikin gula darah kamu jadi naik. Iya, kamu. Tuh liat kelakuan nenek gue aja
gitu.
Akhirnya Ayah gue berganti nama. Ajaibnya, sejak saat itu
Ayah gue sembuh. Kalau biasanya diem diem mencret, sekarang dia cuman sekedar
diem diem ngeden.
Like father, like daughter. Ayah gue ternyata nggak
belajar dari pengalaman. Saat gue lahir, dengan serta merta Ayah gue bertapa di
kaki Gunung Slamet dan pulang pulang demi membawa satu nama.
“Meykke Alvia Yuntiawati.” Rumit sekali dan panjangnya
kayak kereta Fajar Hidayah. Lagi lagi dibandingkan dengan nama temen temen gue
yang minimalis dan berima, kayak Fita Listiyani, Nita Wulandari, Kosasih.
Bahkan, saat gue kecil gue nggak tahu kalau nama gue
Meykke. Di daerah gue, orang orang lazim punya nama panggilan yang terdiri dari
dua suku kata saja, semisal Si-ti, I-na, Fi-Ta, I-nem. Ibu gue yang memang
kreatip nggak kehabisan akal untuk mempersingkat nama gue. Setahu gue dulu,
nama gue adalah Ike. Ayah, Ibu, dan tetangga manggil gue Ike. Semuanya berubah
saat gue kelas 1 SD.
Apakah itu?? Tunggu kelanjutannya..
Bersambung, gaes.
Apakah itu?? Tunggu kelanjutannya..
Bersambung, gaes.
ternayata cewek nyebeli sejak zama behuelaaaa... ngeselin, mungkin kamu juga ngeselin, nama itu bikin karakter kamu jadi karakter ngeselin
BalasHapussalah satu nama keren ya Mbak,
BalasHapusbenar di daerhaku dulu kebanyakan nama ya dua tiga suku kata, seperti namaku wa-di-yo,
nama jadul dan sekarang gak ada nama-nama model gitu ya Mbak :)
terima kasih
Namaku Erick kalo kecil dipanggilnya Iki. Soalnya manggil Erick harus ada C nya jadi Ericccccckk orang ribet manggilnya. Hahaha. Nama Meyke juga ribet ya.. kenapa Y gak diganti I aja biar enak manggilnya Mei.😀
BalasHapusTulisan lama ya... Pantes. Masih alay kak. Hahaha kalo sekarang mah kuereeennn. Penulis 33 buku antologi pasti keren lah. :D
Kok kayaknya dulu aku pernah baca tulisan ini ya Meyk hahaha
BalasHapusSelamat ya namamu antimainstream beda dgn aku yang hampir berjuta umat punya nama MEI WULANDARI wkwkkw
Tapi namamu ribet juga,panggilannya harus pakai qalqalah segala eeerrr
untuk artinya sndiri ada gak mbk? jangan2 nama meykke cuma hasil mainan scrabble
BalasHapusNamanya bagus sih mbak, kekinian banget :P
BalasHapusNgomong-ngomong soal nama, memang mau diapakan lagi sih kalo orangtua sudah kasih ya nggak? Saya juga dikasih nama yg panjang banget sama orangtua saya, memang kalo menurut saya arti dan namanya bagus, tapi ribetnya itu selama masih di bangku sekolahan. Kan setiap ujian nasional atau try out harus bulet-buletin satu-satu, alhasil saya salah satu yang paling lambat ngisi biodata saya hahaha.
BalasHapuswah dulu juga ngerasain rasanya dibagiin susu gratis ya?
BalasHapusanak sd sekarang kasian ya, nggak ngerti gimana bahagianya pas pembagian susu gratis itu. wqwq
kenapa nggak Mike sekalian ya, mbak?
aku juga sama sih, namanya anti mainstream, PUTI. kenapa nggak putri sekalian ya.
tapi yaudahlah, kan setiap nama adalah do'a yang diberikan oleh orang tua kita. cuma sampe sekarang aku juga nggak tau tuh apa arti dari namaku. duh.
gak boleh protes, nanti di coret dari kartu keluarga malah berabe. ehe
ketawa" sendiri waktu baca percakapan waktu di absen haha
BalasHapusDisyukuri aja, orang tua memiliki maksud dan tujuannya tersendiri dalam memberikan nama kepada anaknya
setidaknya, lo harus berbahagia karena nama meykke tidak pasaran dan mungkin hanya satu di dunia. mungkin kalau di bagian dunia lain ada nama meykke yang lain, belum tentu lafal "e" nya itu "e" kepo, bisa aja e beras. tapi kalau orang batak ngomong beras, lafalnya pasti sama kayak orang jawa ngomong e. haduh, gue jadi pusing.
BalasHapusNama lo jarang yang pake tuh . Itu bisa lo masukkan kalo punya anak nanti nya , kan bagus gitu jadinya . Nama gue ada nama "SYAUQIE" nya , kadang orang juga kayak kena sembelit kalo ngomong nama gue itu . ada yang bilang SAUKI , SYAUQI , SYAUKI , dsb . Pokonya aneh aneh lah.
BalasHapus