Mampir di Puing Puing Hati(coret) Candi Dukuh

Satu..dua..tiga..empat...limaa...

Saya hitung titian demi titian tangga menuju ke Candi Dukuh. Energi yang sudah terkuras karena sebelumnya saya dan kedua teman unyu saya sudah berpusing pusing di Benteng fenomenal nan eksotis, Benteng Willem 1, Ambarawa lalu dilanjutkan menjelajahi sawah, kebun dan menerobos hutan untuk bisa melihat kilahan air berterjunan di Curug Kembar Bolodewa, kini semakin terkuras. Ditambah lagi beberapa kali saya mendengar ‘klutuk..klutuk..’ dari salah satu organ dalam saya.

“Duh...masih jauh Yanta?”, tanya saya tak sabar. Puluhan tangga menjulang di depan kita, berkelok kelok serupa ular panjang.

“Bentar lagi..”

Benar saja, setelah mencapai tangga terakhir, dan jalan sedikit..sampailah kita pada Candi yang berada di naungan pemerintah daerah ini dan salah satu peninggalan Prabu Brawijaya V, tentu saja bercorak Hindu.

Saya yang sudah sangat capek hanya bisa duduk di balai balai bambu persis di depan puing puing candi itu.

Ya. Candi Dukuh hanya tersisakan puing puing saja. Ya..sebelas dua belas sama hati saya. *abaikan

Angga dan Yanta yang tampak masih full charging bergerak agresif memutari candi yang terpagar dan terkunci. Well, kita nggak bisa masuk karena pagarnya dikunci. Untungnya, pagarnya hanya sebatas perut saja, jadi masih bisalah foto foto memutari pagarnya.

Yanta memotret setiap sudut puing candi ini. Kalau tidak percaya, lihat saja di sini. Tidak kalah aktif, Angga pun mengikuti jejak Yanta memutari puing itu. Kisahnya bisa dicek di sini.  Saya?? Duduk di balai balai bambu sambil kipas kipas.

“Meyk, foto Meyk..”, tawar Angga.

Karena walau pun capai sudah mendera sekujur tubuh, kalau soal foto jelas tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Daaaaaan.....

Pun sebelum kita memutuskan untuk turun karena suara ‘klutuk klutuk’ milik saya sudah semakin intensif kemunculannya dengan tone yang semakin membahana.

Dan, di titian tangga, kita pun sempat mengabadikan moment hari itu. Senang!!

Kita juga sempat mampir sejenak melihat salah satu pangkal Rawa Pening dengan ibu ibu bertopi lebar memetik enceng gondok. Dengan mengambang menggunakan perahu kecil bernama ‘gethek’, para Ibu dengan telaten mengumpulkan enceng gondok. Bila sudah terkumpul, nantinya akan dikeringkan dan disulap menjadi uang. How come?? Dijadikan barang. Tas, bisa...aksesoris, bisa...keranjang, bisaaa...Sekreatif para pembuat kerajinan enceng gondok.

Semoga laku ya bapak dan Ibu, Meykke pulang dulu....

Meluncurlah kita ke warung makan mak nyus tepat di depan pemandian Muncul. Saya puas melahap pecel keong ditemani es jeruk dan ketan kolak. Sementara Angga dengan wajah berbinar menghabiskan pesanannya. Pun Yanta yang tampak merona dengan makanan di tangannya. Alhamdulillah, kenyang.

Dan you know what?? 3 jenis lahapan itu hanya mengurangi lembaran di dompet saya sebesar 13ribu saja. Dan warung ini bahkan sudah masuk tipi di Trans TV dan juga SCTV. Saya jelas kalah pamor.

Puas makan, puas bertamasya sambil belajar sejarah, puas foto foto dan mengabadikan moment, kita bertiga pulang dengan hati penuh rona. Yeayyy!!

Dan segera merajut rencana perjalanan selanjutnya. Kita akan meniti jalan menuju Sragen dan menjenguk nenek dan kakek di Sangiran, lalu kita akan mengambang di Waduk Kedung Ombo yang memang sangat sangat ombo (luasss).

Yeayyy!!